Jalan Panjang Perdamaian Republik Demokratik Kongo

Berbicara mengenai konflik dalam hubungan internasional, konflik dapat dibagi menjadi dua jenis berdasarkan aktornya. Pertama, intrastate conflict (konflik internal), kedua yaitu interstate conflict (konflik antar-negara). Disiplin ilmu hubungan internasional saat ini, banyak menyoroti terjadinya konflik-konflik internal di berbagai negara yang menjadi isu internasional. Salah satu konflik internal yang menjadi isu internasional dialami oleh Negara Republik Demokratik Kongo (RDK). Konflik internal yang terjadi dalam RDK berlangsung sejak tahun 1996 dan melibatkan banyak negara. Negara-negara tersebut diantaranya Rwanda, Angola, Namibia, dan Burundi. Hingga kini, konflik dalam RDK belum memiliki penyelesaian yang signifikan.


Konflik internal RDK, diawali pada dekade 1960an saat RDK baru saja memerdekakan diri dari Belgia. Kala itu, Presiden yang terpilih adalah Mobutu Sese Seko. Mobutu Sese Seko mengubah nama RDK menjadi Zaire, dan memerintah RDK selama tahun 1965-1996, sebelum akhirnya digulingkan oleh pemberontak. Selama memerintah, Mobutu Sese Seko banyak melakukan tindakan otoriter yang membuat masyarakat RDK resah. Penggulingan Mobutu Sese Seko ini dipimpin oleh Laurent Kabila. Laurent Kabila, dalam menyusun strategi penggulingan Mobutu, beraliansi dengan Rwanda dan Uganda. Aliansi Rwanda serta Uganda terhadap konflik RDK ini, tidak lain disebabkan oleh kepentingan untuk menguasai sumber daya RDK. Namun, pasca mengalami kemenangan, Laurent Kabila mengusir seluruh tentara Rwanda dan Uganda. Tindakan inilah yang menyebabkan berkobarnya Perang Afrika Tengah di tahun 1998.

Maybe Another Life


In another life,
Maybe we see everything,
In a different light,
Like an endless summer,
And in the years from now,
We'll all be living,
The same old certain dream,
That we imagined would be, 
Somewhere high,
Somewhere high above the clouds,
We could live there safe and sound,
Far away from where we are,
Yeah we'll find our star,
But maybe that's another world...


(Westlife-Another World)



In another world, maybe we can see each other,
Something that we can't see on each of us,
Because we're not born to be the same thing,
In another life, maybe I can find you like what I want to,
In another life, maybe you can find me like what you want to,
But it would just happen in another life,
We don't have enough sun to give us life,
Yes, there is only in another life,
Cause the last light of mine,
Has became my last hope,
And the only hope just goes by now.

Paska

Kilatan sebuah pelangi atas langit. Seorang anak manusia yang menunggu jingga terbenam matahari. Karena kita ini terpaut dalam wajah yang sama, hari yang sama, momen yang sama. Kelabu dan semu, itu yang dirasakan dahulu. Tidak benar ada sebuah peristiwa dimana kita tidak mengetahuinya. Karena kelopak mata telah sepanjang waktu menunggu terbenamnya matahari. Menggantikan siang yang lelah. Aku tahu kamu dahulu. Kamu tahu aku kini. Tergelak mematung. Berkicau pada diri sendiri. Meracau di sore hari. Mungkinkah akan hilang sebuah siluet yang pernah berjalan menyusuri lorong waktu?  Memeluk dan menggenggam impian dari sang guru. Kita menjadi pelangi, melebur dalam garis yang pasti. Kan ku kecup hujan untukmu. Kan ku tantang terik hari agar salamku tersampaikan padamu. Sebab bunga terakhir akan tetap berpijar meski ditelan waktu.

Sebanyak masa yang telah usang, sepanjang masa akan terkenang. Lantunan merdu pertanda hadirmu. Lantunan lagu, pertanda akan diriku. Menunggu di balik meja, mengintip lewat cermin. Sebab mata kita kan sulit tuk bertemu, apalagi berpadu. Takdir bukan jawaban untukmu dan bukan juga untukku. Hanya lewat bisu, cukup dengan membisu, jiwa kita akan bertemu. 

Dear #5

Dear Antares,
Aku tak mampu menemukanmu. Aku tak lagi melihatmu di balik berpendarnya cahaya malam dalam waktu-waktu ini. Aku tidak tahu, mungkin sudut penglihatanku kah yang salah. Atau mungkin karena aku tak lagi memiliki loteng tempat aku memandangmu dari kejauhan sana lagi. Aku pun tidak tahu, apakah engkau yang tidak ingin aku temukan lagi. Terakhir, aku tak lagi melihat cahaya merah menyala yang selalu engkau banggakan dulu. Aku tidak mampu menguraikan setiap pantulan cahaya yang sebelumnya dengan gagah engkau tunjukkan pada angkasa. Harusnya sudutmu tidak berubah. Harusnya engkau tidak hilang ditelan masa. Harusnya engkau tidak menghilang dari pandanganku. Atau harusnya aku yang tidak seharusnya mengatakan harus padamu?

Tentang Kita...


Aku memasukinya. Aromanya sangat khas, begitu kukenal. Setiap guratan di tubuhnya, setiap bekas yang pernah aku jejakkan, dan bukan hanya aku yang pernah melakukannya. Meskipun sekarang ia telah berbeda, ia tak lagi sama seperti dulu. Beberapa make up telah membuatnya terlihat lebih baik dan tidak seburuk dahulu. Namun aku masih hafal betul padanya. Bagaimana tidak? Ia adalah tempat pertama kali aku mendengar sebuah lantunan lagu yang diciptakan untuk menghadirkan kehangatan di rumah kita. Kemudian aku melihatnya. Seorang anak berumur 15 tahun. Duduk di bangku baris kedua, kolom kedua dari barat. Anak perempuan itu mengenakan pakaian sekolahnya yang berwarna abu-abu, dengan badge berwarna kuning di sebelah lengannya. Ia tersenyum setengah tertawa sembari memandangi papan tulis di hadapannya. Di papan tulis itu terdapat rangkaian kata yang akan mengalun merdu setelahnya. Aku memandang anak itu lagi. Aku ingat jelas, ia adalah aku. Aku empat tahun yang lalu. Di balik tembok berwarna hijau, dengan papan tulis putih di depan kelas ini yang menandakan bahwa ini adalah kelas X-C. Tetapi bukan ini kelasku, hari ini hanyalah menjadi hari dimana aku bertemu dengan teman-teman lain untuk mendengarkan sebuah lirik. Dan kini aku dapat melihat mereka, beberapa muncul satu per satu, di baris sana, di kolom sini, hingga kelas ini terisi hampir belasan orang. Lantunan lirik itu mengalun perlahan... Aku yang dulu, mereka, telah menghilang... Tetapi kudengar jelas lewat telingaku lagu itu...

Secangkir Kopi Tanpa Gula

Perkenalkan, aku seorang mahasiswi sebuah Universitas swasta di Jakarta. Dua tahun yang lalu aku diterima di Universitas ini dengan sebuah proses seleksi beasiswa penuh yang ditawarkannya. Tanpa beasiswa ini mungkin aku tidak akan pernah meneruskan lagi pendidikanku hingga taraf perguruan tinggi. Tanpa disangka, aku lolos pada seleksi beasiswa tersebut, mengalahkan ribuan pendaftar dari seluruh Indonesia, serta menyambut keluarga baruku yang terhitung hanya sekitar tiga puluh-an anak. Kami mencoba mengukir dan menggapai mimpi-mimpi kami di kampus kami, serta berusaha mengumpulkan bulir-bulir keringat demi membanggakan orang-orang rumah maupun donatur yang berbaik hati membiayai kami, tak terkecuali yang terhormat tentu saja pihak kampus kami. Kami tinggal di sebuah rumah yang notabene adalah “asrama” kami. Gratis. Kamarku pun lebih besar dari ukuran kamar kos untuk empat orang. Dan selain beasiswa kuliah, kami juga ditunjang dengan uang saku perbulan, serta uang buku tiap semester. Sangat beruntung bukan? Aku rasa aku harus sangat berterima kasih kepada takdir yang telah membawaku sampai ke kehidupan saat ini.

Dear #4

Dear Antares,
Hai, apa kabarmu? Serasa lama sekali aku tidak menyapa lewat tulisan. Tapi aku yakin, bahwa kamu sendiri bahkan tidak tahu telah berapa banyak tulisan yang aku buat untukmu dan tidak pernah aku keluarkan J. Tentang menanyakan kabar, aku rasa kita masih sangat baik bukan? Bahkan hampir tidak ada satu haripun kosong tanpa kehadiranmu dalam waktuku. Memang, rasanya rangkaian hari ini benar-benar begitu rapat seperti layaknya partikel-partikel penyusun gelas kaca di ujung sana, benar begitu?