Perkenalkan, aku seorang mahasiswi sebuah Universitas swasta di Jakarta. Dua tahun yang lalu aku diterima di Universitas ini dengan sebuah proses seleksi beasiswa penuh yang ditawarkannya. Tanpa beasiswa ini mungkin aku tidak akan pernah meneruskan lagi pendidikanku hingga taraf perguruan tinggi. Tanpa disangka, aku lolos pada seleksi beasiswa tersebut, mengalahkan ribuan pendaftar dari seluruh Indonesia, serta menyambut keluarga baruku yang terhitung hanya sekitar tiga puluh-an anak. Kami mencoba mengukir dan menggapai mimpi-mimpi kami di kampus kami, serta berusaha mengumpulkan bulir-bulir keringat demi membanggakan orang-orang rumah maupun donatur yang berbaik hati membiayai kami, tak terkecuali yang terhormat tentu saja pihak kampus kami. Kami tinggal di sebuah rumah yang notabene adalah “asrama” kami. Gratis. Kamarku pun lebih besar dari ukuran kamar kos untuk empat orang. Dan selain beasiswa kuliah, kami juga ditunjang dengan uang saku perbulan, serta uang buku tiap semester. Sangat beruntung bukan? Aku rasa aku harus sangat berterima kasih kepada takdir yang telah membawaku sampai ke kehidupan saat ini.

Saat ini, kontrak rumah kami telah habis, dan tanpa disangka ternyata kami diharuskan mengurus kelanjutan tempat tinggal kami sendiri. Selama ini kami bersantai-santai, karena berpikir bahwa pada surat pemberitahuan tentang tempat tinggal kehidupan kami di Jakarta akan ditanggung hingga dua tahun, dan dapat diperpanjang hingga berakhirnya masa studi empat tahun. Namun apa daya, kami tidak pernah diberikan sebuah surat perjanjian yang bisa menjadi bukti legalitas. Selain itu, tentu saja hal-hal yang terkait dengan pengaturan kebijakan bukanlah kuasa kami. Dalam kata lain, tak berdaya, kami menurut. Kami pun mulai mencari rumah kontrakan baru, untuk dijadikan “asrama” kami. Sendiri, hanya kami sendiri. Beruntung, tidak berapa lama kami menemukan sebuah hunian yang pas dan lebih layak dari “asrama” kami sebelumnya. Harganya? Kurang lebih sama, tiga puluh juta pertahun. Namun, sang pemilik menginginkan agar kami dapat melunasinya dalam waktu tiga bulan. Kami, yang memutuskan untuk meneruskan hidup bersama hanya delapan orang. Sang pemilik meminta kami untuk membayar sepuluh juta setiap bulan, dalam jangka waktu tiga bulan ini. Jadi, estimasinya untuk terhitung mulai bulan ini kami harus menyiapkan uang 1.250.000 rupiah untuk kontrak rumah satu tahun. Untuk ukuran Jakarta dengan sebuah rumah yang memiliki empat kamar murah bukan?

Teman, biar kujelaskan. Uang yang akan aku terima per bulan Agustus nanti adalah sebesar satu juta rupiah per bulan untuk menunjang hidup. Bagaimana aku bisa membayar uang  tiga bulan tersebut? Bantuan orangtua? Lupakan. Ayahku hanyalah sebuah karyawan Tata Usaha pada sebuah Sekolah Swasta di daerah Ciracas. Gajinya? Dua juta rupiah per bulan. Cukup besar ya? Namun mungkin tidak bagi seorang ayah yang masih harus menghidupi seorang istri dan kedua anaknya di kampung. Belum lagi, untuk makan dan mengontrak sepetak rumah di kawasan Depok. Aku tahu aku termasuk seorang anak yang beruntung di antara yang lain, bisa mengenyam pendidikan perguruan tinggi, dan mendapatkan berbagai tunjangan. Namun seenak-enaknya dan seharum-harumnya kopi tanpa gula, tetap menyisakan sebuah esensi pahit yang akan terasa saat mengecap setiap teguk kopinya. Entahlah, aku berharap, barangkali malam ini akan datang satu malaikat utusan-Nya yang mampu memberikan jalan dan membantu dalam mengatasi kesulitanku. Lagipula, malam ini mungkin menjadi malam awal bulan Ramadhan, dimana akan membawa berkah bagi setiap hamba Allah SWT. Selamat Menyambut Bulan Suci Ramadhan, bulan yang penuh dengan berkah J