Kilatan sebuah pelangi atas langit. Seorang anak manusia yang menunggu jingga terbenam matahari. Karena kita ini terpaut dalam wajah yang sama, hari yang sama, momen yang sama. Kelabu dan semu, itu yang dirasakan dahulu. Tidak benar ada sebuah peristiwa dimana kita tidak mengetahuinya. Karena kelopak mata telah sepanjang waktu menunggu terbenamnya matahari. Menggantikan siang yang lelah. Aku tahu kamu dahulu. Kamu tahu aku kini. Tergelak mematung. Berkicau pada diri sendiri. Meracau di sore hari. Mungkinkah akan hilang sebuah siluet yang pernah berjalan menyusuri lorong waktu?  Memeluk dan menggenggam impian dari sang guru. Kita menjadi pelangi, melebur dalam garis yang pasti. Kan ku kecup hujan untukmu. Kan ku tantang terik hari agar salamku tersampaikan padamu. Sebab bunga terakhir akan tetap berpijar meski ditelan waktu.

Sebanyak masa yang telah usang, sepanjang masa akan terkenang. Lantunan merdu pertanda hadirmu. Lantunan lagu, pertanda akan diriku. Menunggu di balik meja, mengintip lewat cermin. Sebab mata kita kan sulit tuk bertemu, apalagi berpadu. Takdir bukan jawaban untukmu dan bukan juga untukku. Hanya lewat bisu, cukup dengan membisu, jiwa kita akan bertemu.