Ambil...

Biarkan dirimu terjatuh menyentuh sang raga,
Membasahi setiap jengkal dan sudut dalam jiwa,
Mengalirlah, seperti layaknya aliran dan tetesan air dalam hatiku,
Bersambutlah, sebab kau masih dapat temukan dirimu,
Hanya untuk sementara waktu...

Mengadu aku seperti sebuah sendu,
Karena perkataanku tetap ditelan sang waktu,
Cerminan waktu, mengangkatku...

Once, the time...

You come around and flip me away,
You put the chance and slip me away,
We take the chance but throw it,
To nothing.
Isn't easy to take a look?
Isn't easy to catching away,
And now it goes to nothing,
Nothing for you,
Will never nothing for me,
Where the harmless that you always offer before?
Why it doesn't being the same?
Why it always goes into?
Just don't erase the tears to make some of new,

December, it goes to rain

The Last Journey of Words

Thanks for being nice to me. Thanks for having your time for me. I'm so glad you'd really did to come. It's even more than happiness seeing you fine. So this how's life can overcome. You did good, and i am so. But we can't just stop and continue again about a long journey. See, i still breathe in the same way i did in cloudy afternoon ever last. For the dry wind I ever touch. They left something broken that you put in my chest. If only those kind of things could be completed in a perfect maze long before.

You're sorry for that night, and i'm sorry for the last night. The mirror that put on your eyes, was quitly been done now. The mirror that you put on my eyes, was quitly been done, ever before you done.

Setajuk Kata Berisikan "Apa Kabarmu Hari Ini?"

"Apa kabar? Baik-baik sajakah?"
Hanya setajuk kata itu saja yang sebenarnya mampu melukiskan perhatian lebih dari apapun. Hanya kata-kata sesederhana itu. Tidak perlu aku menjawab, tidak perlu engkau pun tahu, tidak perlu aku memberi tahu, namun itu telah cukup. Percayalah, aku tidak akan mengatakan apapun, aku tidak akan mengucapkan satu kalimat atau sepatah kata pun jika pertanyaan itu tidak pernah hadir dalam dirimu. Sebuah simbol kesederhanaan yang terkristalisasi menjadi permata tersembunyi. Hanya kata-kata itu. Hanya pertanyaan itu. Aku tidak meminta lebih.

Sejarah dan Kebangkitan Nasionalisme di Filipina


Sejarah Kolonialisme di Filipina
            Semenjak abad IX hingga abad XVI Masehi, Filipina menjadi rute perdagangan maritim internasional yang membentang dari Laut Merah hingga Laut China Selatan dan dikuasai mayoritas oleh pedagang muslim. Pedagang muslim ini sering singgah di kepulauan Filipina Selatan yang kemudian juga turut menyebarkan agama Islam disana. Terdapat beberapa perkembangan yang dihasilkan dari peradaban Islam disana terutama di Kepulauan Mindanao, mereka telah memiliki sistem sosial dan politik yang lebih maju dibandingkan wilayah lain. Mereka menganut sistem kesultanan dengan model kekalifahan Islam.
            Pada tanggal 16 Maret 1521 bangsa spanyol datang di Pulau Samar yang dipimpin oleh Ferdinand Magellan. Ia kemudian menamakan pulau tersebut San Lazaro dan mengklaimnya untuk Spanyol. Magellan kemudian melanjutkan perjalanannya ke Cebu dan membaptis raja Humabon beserta 800 orang Cebuano lainnnya menjadi Kristen. Pada tanggal 27 April 1521 Magellan terbunuh saat membantu memadamkan pemberontakan Lapu-lapu. Selanjutnya, empat ekspedisi Spanyol ke Filipina terjadi antara tahun 1525-1542. Pada ekspedisi yang keempat, Ruy Lopez de Villalobos memberikan nama Philippines untuk pulau yang ditemukan Magellan yang diambil dari nama Raja Spanyol kala itu yaitu Raja Philip II. Secara resmi Filipina menjadi koloni bangsa Spanyol pada tahun 1565 saat Raja Philip II menunjuk Miguel Lopez de Legazpi sebagai Gubernur Jenderal yang pertama dan memilih Manila sebagai ibukota wilayah koloni pada tahun 1571. Sekitar 200 tahun awal masa penjajahan Spanyol di Filipina koloni tersebut terisolasi dari dunia luar. Baru pada tahun 1762 Filipina mulai terbuka dengan dunia luar. Spanyol kemudian bermaksud untuk menjadikan kota Manila sebagai pusat perdagangan di Asia. Mereka menjadikannya gudang rempah-rempah sehingga nantinya kapal-kapal dari Eropa tinggal membeli dan membawanya kembali ke Eropa. Manila kemudian maju dengan pesar melebihi tanah jajahan Amerika dan menjadi pelabuhan perantara ke tanah jajahan di Asia lainnya.

As A Raindrops


I'm gonna release out my soul,
I'm gonna flying to the pass sky,
When the birds starting jump in the box,
And the bats never let away the snow falling down,
As a green and blue dancing on the midnight,
As my tears sweeping sweat,
And my heartless spreading everything,
As a snow ball breaking out trees,
Touchy, softly...
Bridging a half-empty,
Burning down coldly,
Running fast crunchy...

Sanggar-Rumah Kerinduanku, Part 5



“Keputusan kan ada di dirimu sendiri, bukannya aku mau menjelek-jelekkan, tetapi hati-hati lah”. Tatapan matanya yang setengah meruncing rasanya berkata-kata seperti itu kepadaku. Aku terdiam sejenak, masih merasakan nafas-nafas udara yang bergejolak di sekitarku. Aku masih terduduk manis di teras itu. Sedangkan ia masih dengan rajin, jemarinya memencet-mencet keypad handphonenya. Aku menatapnya sejenak. Tubuhnya kurus kecil dan posturnya hanya sebatas laki-laki biasa, tidak tinggi, tidak juga pendek. Masih nyaman ia duduk bertengger di atas motor Yamaha Mio-nya yang berwarna biru kehijauan dengan corak pelangi pada sisi sampingnya. Udara luar memang sedang dingin, sebab ini adalah waktu-waktu pergantian musim, tetapi nampaknya bukan itu yang membuatnya mengenakan sweater. Sweater hijaunya yang berwarna ketuaan dan menurutku sudah tampak lusuh itu memang selalu dipakainya setiap hari, yang entah itu merupakan sweater kesayangannya atau tidak ada sweater lain? Entahlah. Sepertinya argumen pertama yang lebih dapat diterima. Beralih ia menatapku. Aku membalas dengan tatapan bingung yang masih setengah tidak mengerti. Kami sama-sama menatap langit, kami sama-sama membagi cerita dalam kebisuan. Satu hal yang tidak pernah aku kira sebelumnya adalah, bahwa orang ini, yang kini berada di hadapanku, merupakan sosok yang memiliki hati dan jiwa begitu besar, yang memiliki vision begitu besar pada apa yang akan ia hadapi. Sebelumnya, sebelum aku mengenal dekat dirinya, yang aku tahu ia adalah seseorang dengan bakat goresan cat air atau pewarna apapun yang luar biasa. Dimanapun ia menggoreskan tangannya, seolah saat itu juga bumi menginginkan ia melahirkan karya berupa gambaran-gambaran luar biasa. Aku mengagumi setiap inchi garis-garis dan desain yang mampu ia wujudkan, karena memang mereka luar biasa. Bukan hanya dalam bentuk dua dimensi saja tetapi, ah... terlalu banyak jika aku jabarkan, aku tak mampu. Dan yang sulit aku percayai adalah, bahwa pada saat ini, dua anak manusia ini –aku dan dia- bisa berbagi cerita, cerita tentang hati, yang bahkan pada teman-teman terdekatku saja tidak pernah aku ceritakan, begitu pun ia.

Dear #2


Dear Antares,
Poros waktu semakin berotasi, menunjukkan revolusi yang menemukan sejatinya bagaimana keadaan itu bergulir. Menyatukan kepingan remah-remah yang sempat ditelantarkan. Gugusan meteoroitmu jatuh tepat pada saat malam bergeming. Pada pusat tegak lurus sembilan puluh derajat, engkau bersaksi. Dalam sudutnya yang tumpul, kembali engkau mengurai sebuah jarak, menghubungkan dan mengaitkan. Dalam polanya yang pasti, engkau mengukur dan menyelami langitmu sendiri, menguatkan dan memastikan.

Angin


Aku iri pada angin...
Aku iri padanya yang dapat membalut kesedihanmu. Ia yang dapat membantumu mendorong air mata dari pelupuk untuk dituahkan, untuk dilepaskan, meninggalkan beban  berat yang engkau rasakan. Sedangkan aku tak pernah mampu membaca guratan kesedihanmu. Menerka saja aku tak bisa. Apalagi untuk menghiburmu saat duka itu datang.

Kala Dua Angin Berbisik


Ku mencari Sang Georgium Sidus,
Dalam untaian gugus-gugus dan rumpun cahaya,
Tuk beri jalan menuju Andromeda,
Melampaui batas waktu kehidupan,
Laksana tiba di Athena,
Mereka menari bagai bulan dan matahari, sedang...
Aku adalah Anaxagoras,
Tak ingin aku pergi ke Lampsacus,
Hanya dalam kosmologi Mesir,
Aku ingin menjadi Dewa Tefnut,
Hingga lengkungan cakrawala kan,
Temukan dua angin,
Berputar di bawah gelap malam,
Bahkan bintang yang lain pun terdiam,
Back to the lonely,
Back to my destiny

Dear #1


Dear Antares,
Engkau yang selalu bersinar terang disana...
Seolah aku melalui cerobong dan meresapi celah-celah waktu yang baru. Membuka kembali jendela yang sebelumnya hanya terbuka setengah. Membiarkan asap dari embun pagi kembali meresap memenuhi rongga-rongga udara. Menemukanmu... tidak, tepatnya saat segalanya tidak aku rencanakan dan saat segalanya aku lepaskan ternyata cinta dapat membebaskan. Betapa tiap butiran air yang menetes dari langit itu memberikan sebuah pencerahan baru. Memberikan warna pelangi di setiap sudut wajahnya ketika memantulkan matahari. Tentu saja, aku mataharinya, dan engkau tetap menjadi Antares disana. Meskipun jauh dan berbeda tetapi kita berada dalam sebuah gugusan yang teramat jauh dari kesederhanaan untuk ditemukan. Nampaknya harus aku temukan alur dalam mempelajari teori “Black Hole” untuk menemukan sendiri tentangmu dan tentangku.

Logika & Perasaan, Paradigma Pilihan!


Apakah memang selayaknya perasaan itu kita yang mengendalikan? Bukan perasaan yang mengendalikan kita? Jika memang benar begitu adanya, bukankah justru berarti membiarkan diri kita sendiri dikuasai oleh ego dan logika-logika yang absurd dalam menghadapi kehidupan? Bukankan perasaan justru menjadi substansi yang mengandung esensi dari kebenaran? Ah, mungkin aku terlalu berkutat dengan landasan filosofis yang telah dituliskan dan diperdebatkan selama berabad-abad oleh sejarah. Yang justru membuatku muak sendiri adanya. Kenapa manusia berpikir sesuatu yang terkadang tidak perlu dipikirkannya? Kenapa sulit untuk menjalani hidup apa adanya yang seperti orang-orang katakan? Aku yakin seyakin-yakinnya bahwa tidak ada seorang pun di dunia ini yang benar-benar menjalani hidup apa adanya. Slogan tersebut hanya berfungsi sebagai paradoks untuk hiburan semata. Untuk menghidupkan kembali semangat-semangat yang sempat tertidur atau bahkan mati suri. Akankah benar demikian adanya?

Analisis The Declaration of Independence Palestina


Perjuangan Palestina Atas Kemerdekaan & Hak di Dunia
Palestina, merupakan salah satu negeri yang berdiri di tanah Jazirah Arab sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu. Meskipun eksistensinya sebagai sebuah negara yang berdaulat sampai saat ini masih belum dilegalkan oleh PBB, namun telah banyak negara-negara lain yang sepenuhnya mendukung kemerdekaannya. Apalagi hal ini juga dipicu dengan adanya gencatan senjata antara Palestina-Israel yang selama berpuluh-puluh tahun sulit dikendalikan. Perebutan wilayah dan pemberontakan atas nama agama menjadi sengketa kedua belah pihak tanpa mendapatkan titik temunya hingga saat ini. Tentu saja, kemerdekaan Palestina dipercaya sulit didapatkan karena adanya Amerika Serikat yang duduk sebagai Dewan Keamanan tetap di PBB. Sedangkan di sisi lain telah terlihat bahwa Amerika Serikat begitu memiliki kedekatan dan di bawah pengaruh Israel pula. Banyak spekulasi yang menyatakan bahwa selama Amerika Serikat masih duduk tenang sebagai Dewan Keamanan tetap PBB, maka selama itulah Palestina tidak akan bisa mendapatkan kedaulatan yang sah dari PBB, atau dengan kata lain selamanya Palestina tidak akan bisa menjadi sebuah negara.
Perjuangan Palestina, bukannya tanpa alasan yang kuat untuk menjadi sebuah negara. Mengingat invasi yang sedemikian rupa bisa menghancurkan kota-kota dan segenap jiwa penduduk Palestina oleh keberadaan dan tindakan militer Israel. Tanpa adanya pengakuan kedaulatan, Palestina tidak bisa berjuang demi hak mereka sebagai manusia, dan sebagai warga Palestina. Tanpa adanya kedaulatan, hal tersebut menjadi sebuah kemudahan bagi bangsa atau negara lain untuk menjajah, atau merampas kedudukan dan hak masyarakat Palestina. Tanpa hal tersebut juga, negara-bangsa yang ada di dunia ini akan sulit untuk membantu dalam hal pembelaan atas pelanggaran Hak Asasi Manusia ataupun memberi bantuan dalam bentuk administrasi, atau juga memberi bantuan dalam bentuk kerjasama pemerintahan antar-negara.

Karena Bunga Pun Tahu Waktu Mekarnya


Persis disini, dimana waktu menjeratku untuk terus berjalan, mendekapku untuk selalu merengkuh butiran-butiran embun yang terjatuh, semuanya pergi seketika. Aku mampu tanpamu, aku tahu benar itu, sebab sebelum kehadiranmu pun aku mampu menghadapi semuanya sendirian. Aku dapat merangkai binar-binar anugerah yang terhampar di hadapanku bahkan jauh sebelum aku mengenalmu. Maka aku rasa tidak ada satupun alasan yang dapat menghalangi langkahku untuk tetap berjuang. Aku dan kamu hanya sekelumit cerita yang mampir dalam perjalananku yang tanpa henti. Oleh itulah, ketika kamu pun harus mengambil langkah yang berbeda dari yang aku tempuh, seharusnya aku dapat menerimanya, dengan senyum lebar, karena seharusnya aku pun mampu berterima kasih padamu atas iringan langkahmu yang sempat menemaniku. Semestinya semua bisa aku bungkus dalam untaian do’a untukmu dan untukku.

Namun setiap anak manusia memiliki perasaan masing-masing yang tak dapat mereka ungkapkan bukan? Seperti layaknya seorang anak kecil yang senantiasa ingin selalu berada dalam pelukan orangtuanya. Atau seperti mereka yang dalam waktu singkat dapat menjalin persahabatan? Atau seperti manusia yang tidak dapat hidup dengan diri sendiri. Aku tidak menyesal, sungguh tidak atas karunia Tuhan yang mempertemukan kita dan kemudian memberikan jalan yang berbeda. Hanya saja, perasaan yang tersangkut jauh di dalam hatiku inilah yang acapkali membuatku gusar.

Adil Itu... Pasti dan Tidak

         Aku menghirup nafas dalam-dalam. Kubiarkan kepalaku tertunduk. Rambutku yang panjang dan kemerahan jatuh tergerai begitu saja. Gerimis masih saja turun, membuatku semakin enggan untuk pulang ke rumah. Aku terduduk sendirian di halte ini. Halte di depan kampus tempat aku menimba ilmu. Tempat duduknya seperti sebuah balok panjang yang ditutupi keramik dan berbentuk sandaran. Keramiknya berwarna putih yang sudah mulai mengusam ditelan waktu. Suara bising jalan raya tidak begitu terdengar lagi olehku. Hanya suara desir angin yang masih saja tercerna di dalam pendengaranku. Angin berhembus lagi. Tiupannya menerjang daun-daun yang telah gugur dan berserakan di tepi jalan. Aku termenung mengamati, daun itu berputar-putar dan berguling-guling di jalan raya. Terhempas kesana-kemari. Aku memalingkan wajah. Bersandar pada tiang besi yang berada di samping tempat dudukku ini. Dingin terasa di pipiku, namun aku menikmatinya.

Sanggar, Rumah Kerinduanku-Part 4

            Laki-laki itu, pertama kali aku melihatnya adalah saat ia duduk sendiri di sudut sebuah kantin sekolah. Kepalanya tertunduk, terfokus kepada minuman pop ice yang terhidang dingin di hadapannya. Sambil mengaduk-ngaduk esnya terus menerus, lelaki itu terdiam. Saat itu sudah pukul empat, sekolah telah sepi, mungkin hanya tinggal segelintir anak-anak saja yang masih betah untuk mengobrol di sanggar, atau beberapa pengurus takmir masjid yang lebih suka berdiam diri di mushola sekolah. Selain laki-laki itu hanya ada satu orang lagi di kantin ini, ya tentu saja si pemilik kantin, seorang laki-laki, namanya Pak Sis. Pak Sis adalah salah satu dari tukang kebun sekolahku juga. Biasanya yang menjaga kantin ini adalah Bu Sis, istri dari Pak Sis. Seorang perempuan paruh baya yang selalu halus dalam setiap tutur kata dan nada bicaranya. Bahkan menurutku Bu Sis tidak mempunyai bakat dalam berteriak, seperti layaknya yang sering dilakukan murid-murid sekolah ini saat berdesakan membeli jajan di waktu istirahat tiba. Karena waktu yang telah sore inilah yang membuat akhirnya Pak Sis menjaga kantin, sedangkan Bu Sis telah pulang terlebih dahulu. Pak Sis saat itu sedang asyik duduk di salah satu bangku kantin sambil mendengarkan radionya.

Sanggar, Rumah Kerinduanku-Part 3

            Aku tidak tahu sejak kapan mereka tertawa cekikikan memperhatikan fotoku. Yang jelas, aku sama sekali tidak sadar momen memalukan yang dicuri dariku itu. Hingga sampai akhirnya Wheny menunjukkan sebuah gambar yang bertengger manis di layar hp-nya. Oh hell no! That was me... I was fall asleep some minutes ago, but i didn't realize that i really slept at that time. Foto itu jelas masih terbingkai di ingatanku. Meski hanya foto setengah badan yang diambil. Fotoku yang tertidur dengan beralaskan tas kusutku yang berwarna coklat dengan motif kotak-kotak. Sekilas aku pikir betapa polosnya wajahku dan kemudian tertawa dalam hati, tapi anggapan itu langsung cepat-cepat aku hilangkan. Bagaimanapun aku tidak suka foto-foto semacam itu bisa dimiliki orang lain. Sungguh memalukan! Aku bergegas bangun dari posisi tidurku, seragam biruku terlihat sangat kusut, apalagi jilbab yang aku pakai, sudah berbentuk seperti kain lusuh yang siap untuk dibuang. Errrrggghhh, kenapa juga mesti ketiduran, ucapku dalam hati. Aku memang berniat untuk beristirahat sejenak, tetapi tidak untuk tidur, lagipula pikirku tidak mungkin aku bisa ketiduran ditempat sepanas ini. Aku berdiri, berjalan selangkah mendekati Wheny.

Sanggar, Rumah Kerinduanku-Part 2

            Hari ini seperi biasanya, sehabis bel berbunyi satu tempat yang aku tuju. Tentu saja sanggar baruku. Aku dan beberapa teman-teman sedang sibuk mempersiapkan acara besar Bedah Buku Antologi Puisi kami. Memang, event itu tinggal hitungan beberapa minggu lagi. Aku setengah berlari menuju sanggar itu, bukan karena aku sangat bersemangat untuk membantu, tetapi aku senang melihat begitu banyak teman-temanku yang berkreasi membuat karya-karya lukisan, sebab event besar kami nanti juga akan diselingi dengan pameran lukisan dari anak-anak sanggar. Belum sampai di tempat, sudah ada beberapa anak yang tampak di lorong persimpangan sanggar.

Sanggar, Rumah Kerinduanku-Part 1

           Saat itu kelasku sedang kosong pelajaran. Suasana gaduh sekali. Aku hanya terdiam di bangkuku seperti biasanya. Di hadapanku terdapat buku-buku pelajaran matematika yang seharusnya saat ini sedang berlangsung. Ku biarkan buku-buku itu berserakan seenaknya saja. Aku tak ada mood untuk melakukan apapun. Aku hanya ingin kelas ini cepat berakhir dan aku bisa segera pulang untuk tidur. Kucoba benamkan wajahku di buku-buku itu, berharap keletihan ini juga akan segera pergi. Aku melirik sesaat keadaan kelas, teman-temanku yang lain sibuk bernyanyi dan berjoget ria di depan kelas. Kelasku cukup besar dibanding dengan kelas lain, sehingga cukup banyak ruang untuk menjadi ajang permainan di dalamnya. Ada yang berkutat dengan handphonenya. Ada yang sibuk berteriak dan main kejar-kejaran. Ada pula yang malah pergi nongkrong di kantin. Oh Tuhan, siswa SMA macam apa ini, batinku. Meskipun baru menginjak di kelas X, tetapi aku sudah bertingkah layaknya orang dewasa yang memikirkan negara. Lucu dan aneh memang, tapi entah, itulah aku. Selalu ingin memandang jauh ke depan terhadap negara ini.

Kepentingan Nasional India Terhadap Indonesia (Berkaitan dengan Soft Diplomacy & Kunjungan India ke Indonesia, Januari 2012)

        Kunjungan Negara India ke Indonesia beberapa waktu yang lalu (Januari 2012) tentu tidak dapat dilepaskan dari konteks kepentingan nasional dan diplomasi dari masing-masing Negara. Menarik memang hal yang ditonjolkan oleh India berkaitan dengan Soft Diplomacy yang dilakukannya. Mengusung tema budaya dan menampilkan berbagai ciri khas budaya yang mengagumkan mata penonton di Indonesia. Tak terkecuali saat India memberikan suguhan yang menakjubkan, yang dikemas dalam acara “A Slice of India in Paramadina University”. Sambutan yang hangat dari Diplomat dan The Jawaharlal Nehru Indian Culture Centre menjadi pusat dari pembentukan dan pencitraan India di Indonesia.

LOMBA BLOG ESSAY PARAMADINA LIVING VALUE : Sedikit Tetapi Besar (Green Living)

             Industri, menjadi faktor utama dalam menyebabkan banyaknya emisi gas dan pencemaran di dunia ini. Benarkah begitu? Jika ditilik secara sejarah, dan melihat apa yang telah terjadi di masa lalu sampai kini, mungkin saja dapat dikatakan demikian. Negara kapitalis yang semakin berkembang selalu berusaha untuk memperbaharui teknologi lewat segala macam industri. Banyak pabrik-pabrik bermunculan. Fenomena ini tentu saja tidak hanya berada dalam negara kapitalis. Teknologi dan industri, yang notabene menjadi suatu kekuatan tunggal pendorong ekonomi seakan dilombakan dan menjadi pemain utama dalam demonstrasi kekuatan. Hal ini menyebabkan bukan hanya negara kapitalis saja sebagai penggerak utama dalam menyebabkan emisi gas dari industri. Tapi hampir terdapat pada semua negara.

Sudut Kolam

          Malam ini basah, seperti biasanya. Tetesan air hujan yang akhir-akhir ini terus turun sepanjang malam tak kunjung jua berhenti menimpa sepanjang jalan ini. Aroma daun bercampur air, serta tanah basah yang khas semerbak di segala penjuru. Aku masih terus berdiam diri di kursi tua ini. Di kursi yang kayunya sudah mulai rapuh dan dihiasi oleh cat berwarna hijau yang sudah terkelupas dimana-mana. Sebuah telaga kecil terdiam di depanku. Airnya berwarna hijau ketuaan menandakan banyaknya ganggang yang bersemayam di dalamnya. Tersandar ku sendiri. Angin malam sedikit berbisik berceloteh dan berdansa ria di telingaku, membuat dingin semakin merasuk. Tetapi aku tetap disini. Sendiri.

Catatan Kecil Renungan

           Keheningan terkadang membuat orang bisa berpikir jernih akan apa yang telah ia lakukan, ataupun tentang apa yang telah dilewati selama ini. keheningan bisa mencuci segala prasangka yang mungkin telah lama melekat, atau baru saja hampir datang. Namun, tidak selamanya keheningan bisa membawa seseorang benar-benar termenung melihat kehidupan. Keheningan bisa saja menyeret langkah semakin tenggelam dalam kesunyian dan menghindari kenyataan yang ada.