Apakah memang selayaknya perasaan itu kita
yang mengendalikan? Bukan perasaan yang mengendalikan kita? Jika memang benar
begitu adanya, bukankah justru berarti membiarkan diri kita sendiri dikuasai
oleh ego dan logika-logika yang absurd dalam menghadapi kehidupan? Bukankan
perasaan justru menjadi substansi yang mengandung esensi dari kebenaran? Ah,
mungkin aku terlalu berkutat dengan landasan filosofis yang telah dituliskan
dan diperdebatkan selama berabad-abad oleh sejarah. Yang justru membuatku muak
sendiri adanya. Kenapa manusia berpikir sesuatu yang terkadang tidak perlu
dipikirkannya? Kenapa sulit untuk menjalani hidup apa adanya yang seperti
orang-orang katakan? Aku yakin seyakin-yakinnya bahwa tidak ada seorang pun di
dunia ini yang benar-benar menjalani hidup apa adanya. Slogan tersebut hanya
berfungsi sebagai paradoks untuk hiburan semata. Untuk menghidupkan kembali
semangat-semangat yang sempat tertidur atau bahkan mati suri. Akankah benar
demikian adanya?
Aku mendapati diriku terkendali oleh adanya
pemikiran filosofis yang mengatakan bahwa tidak adanya kebenaran yang hakiki di
dunia ini, yang ada hanyalah kebenaran-kebenaran. Lantas pantaskah Tuhan tidak
kita sebut sebagai kebenaran yang hakiki? Jika eksistensi Tuhan dilepaskan dari
sifat keduniawian aku rasa hal itu hanyalah satu bentuk skeptisme semata dari
sifat alamiah manusia. Bagaimana bisa Tuhan dilepaskan dari sifat keduniawian
sedangkan kita sendiri hidup dalam dimensi tersebut. Siapa yang bisa melepaskan
atau setidaknya memilah dimensi nyata dengan yang abstrak? Jika memang kita
bisa memilahnya kenapa kita berkoar-koar bahwa kita hidup di keduanya? Jika
memang dimensi tersebut telah tercampur menjadi satu lantas kenapa kita harus
dapat mendefinisikannya dalam ruang yang berbeda?
Logika, sebuah konteks yang mau tidak mau
telah terlarut dalam campuran perasaan. Terkadang aku berpikir, betapa bodohnya
orang yang berbicara atas nama logika dan menghina perasaan. Memangnya mereka
pikir substansi apa yang membuat mereka memilih logika? Akal? Darimana kalian
bisa menelusuri bentuk akal itu sendiri? Bukankah akal merupakan runtutan dari insting
kalian? Darimana asalnya insting? Bukankah insting itu sendiri merupakan
perwujudan abstrak yang tersistematis dari suara jiwa? Bagaimana jiwa bisa
terkumpul? Bukankah berasal dari eksistensi perasaan juga? Apakah kalian pikir
yang dinamakan perasaan itu hanyalah sikap dan sifat yang lembek semata? Yang
bisa diluluhkan dan membuat otak kita berputar lagi untuk berpikir kedua
kalinya? Aku rasa tidak, perasaan adalah satu-satunya substansi yang eksis yang
manusia tidak akan pernah tau. Sebut saja ilmu-ilmu pengetahuan atau sains yang
mencoba memperagakan stimulus-stimulus dalam setiap syaraf kita tentang
perasaan. Sejauh apa mereka mengerti? Mungkin memang mereka bisa menjelaskan
bagaimana proses itu berlangsung? Tetapi mereka tidak akan pernah tahu
bagaimana dapat berlangsungnya proses tersebut!
Manusia diberi akal untuk mengimbangi
perasaan, untuk dapat meraba-raba sejauh mana definisi benar dan salah dapat
dikategorikan. Tetapi bukan berarti yang namanya akal dan logika menjadi dasar
tersendiri atas kebenaran. Aku tidak menolak keberadaan kebenaran yang hakiki,
juga tidak menolak keberadaan kebenaran-kebenaran, setiap hal yang dimiliki dan
diutarakan manusia pasti memiliki maknanya masing-masing tanpa perlu ada
pengujian secara sains atau fakta. Bukan berarti aku orang yang bersifat
abstraksi pula, hanya saja menurutku dari sesuatu yang abstrak itulah kita baru
bisa menemukan rangkaian sistematis yang membentuk bentuk-bentuk nyata.
Label: Opini
Posting Komentar