Dear Antares,
Engkau yang selalu bersinar
terang disana...
Seolah aku melalui cerobong dan
meresapi celah-celah waktu yang baru. Membuka kembali jendela yang sebelumnya
hanya terbuka setengah. Membiarkan asap dari embun pagi kembali meresap
memenuhi rongga-rongga udara. Menemukanmu... tidak, tepatnya saat segalanya
tidak aku rencanakan dan saat segalanya aku lepaskan ternyata cinta dapat
membebaskan. Betapa tiap butiran air yang menetes dari langit itu memberikan
sebuah pencerahan baru. Memberikan warna pelangi di setiap sudut wajahnya
ketika memantulkan matahari. Tentu saja, aku mataharinya, dan engkau tetap
menjadi Antares disana. Meskipun jauh dan berbeda tetapi kita berada dalam
sebuah gugusan yang teramat jauh dari kesederhanaan untuk ditemukan. Nampaknya
harus aku temukan alur dalam mempelajari teori “Black Hole” untuk menemukan
sendiri tentangmu dan tentangku.
Dear Antares,
Yang selalu merah menyala di ufuk
scorpio...
Semburat cahaya lentur yang
selalu dapat menerobos awang-awang ternyata aku rasakan. Seperti asas
kapilaritas yang telah lama ditemukan berabad-abad lalu, seketika aku merasa
bisa menjadi butiran air yang menembus partikel kaca dalam gelas. Atau merasa
seperti terbawa oleh hukum Newton dalam praktik gravitasinya. Entahlah, aku
hanya merasa terbawa dalam tarikan dan uluran tangan tak terlihat yang
membuatku terjatuh, menembus asas ketidakmungkinan sendiri dalam fisika
mungkin, menembus dan merobek asas kausalitas, aku tidak tahu mana yang tepat.
Atau menemukan rumus yang tepat saat tekanan datang padaku, seperti halnya yang
dijelaskan oleh Pascal beberapa dekade sebelum aku lahir bahkan. Atau mungkin
sebenarnya kita telah ada sebelum Pascal menemukan rumusnya yang membuatku
terpikir saat ini?
Dear Antares,
Sebuah simbol kegagahan angkasa...
Saat rumpun kita bertemu dalam
milyaran galaksi, dan berputar hanya untuk membuatku bertemu denganmu setiap
malam, merengkuh angkasa yang selalu membuatku tercengang. Semilir dan aroma
angin membuatku mengerti bahwa engkau dan aku mempunyai “Black Hole” tersendiri
yang mampu menembus pusaran langit. Yang tidak lagi membuatku hanya mematok
kisaran Kosmologi semata. Engkau lebih besar dari Kosmologi yang pernah aku
bayangkan. Bahkan menemukanmu pun tak butuh lama bagiku saat menatap langit.
Tidak lagi pada mekanika kuantum dan apapun itu yang membuatku dapat menemukan
sudutmu. Cukup dari sini, dimana aku hanya mengikuti arah mata angin saat aku
memejamkan mata, aku tahu. Cukup dengan seperti saat melihat ombak bergulung di
balik turunnya malam kemarin. Aku tahu kemana arah aku akan berjalan dan kemana
naluri alam ini akan menuntunku.
Dear Antares,
Tetaplah menjadi dirimu. Dirimu
yang lebih besar dari yang engkau tahu.
(Jakarta, 15 Juli 2012)
Label: My Side
Posting Komentar