Aku menghirup nafas dalam-dalam. Kubiarkan kepalaku tertunduk. Rambutku yang panjang dan kemerahan jatuh tergerai begitu saja. Gerimis masih saja turun, membuatku semakin enggan untuk pulang ke rumah. Aku terduduk sendirian di halte ini. Halte di depan kampus tempat aku menimba ilmu. Tempat duduknya seperti sebuah balok panjang yang ditutupi keramik dan berbentuk sandaran. Keramiknya berwarna putih yang sudah mulai mengusam ditelan waktu. Suara bising jalan raya tidak begitu terdengar lagi olehku. Hanya suara desir angin yang masih saja tercerna di dalam pendengaranku. Angin berhembus lagi. Tiupannya menerjang daun-daun yang telah gugur dan berserakan di tepi jalan. Aku termenung mengamati, daun itu berputar-putar dan berguling-guling di jalan raya. Terhempas kesana-kemari. Aku memalingkan wajah. Bersandar pada tiang besi yang berada di samping tempat dudukku ini. Dingin terasa di pipiku, namun aku menikmatinya.

             Sejenak, handphoneku bergetar, kulirik saja di dalam jaket yang kupakai. Aku enggan membukanya. Sedang malas saja untuk melakukan aktivitas, bahkan membaca SMS sekalipun. Aku tak suka dengan cuaca-cuaca seperti ini. Musim hujan yang selalu saja mengganggu aktivitasku. Sekarang sudah pukul 5 sore, dan seharusnya aku telah berada di rumah  sejak tadi jika saja hujan tidak menjebakku sendirian berada disini. Bus yang seharusnya ada untuk bisa mengantarkan aku pulang ke rumah tak sedikitpun menampakkan moncongnya. Hujan turun lagi dengan desiran angin yang semakin lama semakin membuatku menggigil. Seorang pria dengan tinggi tak lebih dari 10cm dibandingkan aku datang. Bajunya sedikit basah diterpa rintikan hujan yang membesar.
"Hai", ucapku.
"Hei! Belum pulang?", tanyanya
"Begitulah. Akhir-akhir ini hujan selalu menjadi penghambat yang pasti", senyumku yang kurasakan agak kaku.
Dia beralih duduk di sampingku. Sambil mengibas-ngibaskan rambutnya yang setengah basah ia bertanya lagi.
"Gimana kuliah? Lancar?"
"So far, i think so. Kamu juga sibuk kan? Aku liat sering banget bolak balik ke ruang rektorat, atau jangan-jangan justru bermasalah?" ucapku setengah mengejek.
"Menurutmu?", dia tersenyum. Senyumannya bagaikan bunga yang baru saja merekah ditimpa hujan.
"Hmmm...", gumamku setengah tersenyum. "Kenapa belum pulang?"
"Tadi mobil yang dipake buat jemput masih di service gitu, jadi ya nunggu dulu lah".
"Ohhh...".
                 Terkadang aku berfikir kenapa orang-orang selalu mengatakan bahwa Tuhan itu adil, sedangkan disini aku bisa melihat perbandingannya yang jauh. Laki-laki disampingku ini dia adalah seorang yang berada, semua hal tentangnya, dari bajunya, tasnya, sepatunya, semuanya mempunyai brand masing-masing yang terkenal. Rumahnya mewah, kebutuhannya tercukupi, tidak ada yang kurang. Sedangkan aku? Untuk makan saja aku jatuh bangun mengusahakannya. Untuk membeli baju saja aku berpikir ribuan kali. Bisa kuliah karena kebaikan orang lain saja sudah alhamdulillah. Apakah benar Tuhan itu adil adanya? Apakah Tuhan bisa benar-benar mendengar suaraku yang kesepian? Kenapa Tuhan tidak kunjung memberikanku jalan untuk keluar? Sampai berapa lama Tuhan akan terus mengujiku? Belum puaskah Dia?

                                                          ********************

Dua minggu kemudian,


              Kudengar suara orang berlari-larian melihat pengumuman yang ada di majalah dinding kampus. Penasaran, aku coba mengikuti mereka melihat apa yang terjadi. Sebuah pengumuman baru ditempel di papan pengumuman. Kertas itu berukuran sebesar kertas HVS, berwarna putih dan ada foto seseorang di dalam kertas tersebut. Aku tercengang melihatnya, setengah tidak percaya. Aku berlari menuju kelas, membuka laptopku dan segera memulai pencarian. Laki-laki itu, yang dua minggu lalu duduk bersamaku di halte kampus, dikabarkan telah bunuh diri di apartemennya kemarin sore. Motifnya, diduga kuat karena tekanan pekerjaan sebagai aktor yang berlebihan sehingga membuatnya frustasi. Ditambah lagi dengan berbagai isu yang belakangan sering menimpanya. Anton, menjatuhkan diri dari apartemennya di lantai 20 sehingga tewas seketika, begitu yang dikatakan oleh salah satu media online.
                 Aku merasa sedikit terguncang, sering tak bisa kubayangkan orang sepertinya, yang selalu terlihat santai dan sabar bisa melakukan hal tersebut. Kini aku rasa Tuhan telah cukup adil. Setidaknya aku masih memiliki otak yang waras untuk bertahan dan mengambil keputusan.