Persis disini, dimana waktu
menjeratku untuk terus berjalan, mendekapku untuk selalu merengkuh
butiran-butiran embun yang terjatuh, semuanya pergi seketika. Aku mampu
tanpamu, aku tahu benar itu, sebab sebelum kehadiranmu pun aku mampu menghadapi
semuanya sendirian. Aku dapat merangkai binar-binar anugerah yang terhampar di
hadapanku bahkan jauh sebelum aku mengenalmu. Maka aku rasa tidak ada satupun
alasan yang dapat menghalangi langkahku untuk tetap berjuang. Aku dan kamu
hanya sekelumit cerita yang mampir dalam perjalananku yang tanpa henti. Oleh
itulah, ketika kamu pun harus mengambil langkah yang berbeda dari yang aku
tempuh, seharusnya aku dapat menerimanya, dengan senyum lebar, karena
seharusnya aku pun mampu berterima kasih padamu atas iringan langkahmu yang
sempat menemaniku. Semestinya semua bisa aku bungkus dalam untaian do’a untukmu
dan untukku.
Namun setiap anak manusia
memiliki perasaan masing-masing yang tak dapat mereka ungkapkan bukan? Seperti
layaknya seorang anak kecil yang senantiasa ingin selalu berada dalam pelukan
orangtuanya. Atau seperti mereka yang dalam waktu singkat dapat menjalin
persahabatan? Atau seperti manusia yang tidak dapat hidup dengan diri sendiri.
Aku tidak menyesal, sungguh tidak atas karunia Tuhan yang mempertemukan kita
dan kemudian memberikan jalan yang berbeda. Hanya saja, perasaan yang
tersangkut jauh di dalam hatiku inilah yang acapkali membuatku gusar.
Sebelum keberadaanmu sempat eksis
dalam kisahku, aku tidak pernah meminta Tuhan untuk memberikanku seseorang untuk
menemani langkahku. Sebab semuanya dapat aku selesaikan dengan diriku sendiri,
meskipun aku harus berdarah-darah atau mengais-ngais sisa harapan yang ada
dalam hidupku, tetapi aku tidak pernah mengeluh. Semuanya aku jalani apa
adanya, aku tidak ingin meminta bantuan siapapun, sebab aku tahu inilah hidup
yang harus aku jalani, aku harus membangun diri sendiri menjadi kuat, tetapi
aku yakin aku mampu. Keheningan dan kesunyian sudah menjadi sahabat yang sangat
setia bagiku, dan aku menyukai itu. Saat-saat yang justru paling mendamaikan
hatiku adalah kala matahari turun dan langit malam jatuh, dan aku dapat
mengagumi betapa indahnya hamparan bintang-bintang diluar sana, ditambah dengan
terpaan angin malam yang akan mendesir di wajahku, menyentuh dan mendinginkan
pipiku, serta melibaskan rambutku. Aku sangat mencintai saat-saat seperti itu,
dimana hanya ada aku dan alam yang saling berkomunikasi tanpa dimengerti.
Sejauh itu sebenarnya aku sadar
bahwa akan hadirnya seorang teman pasti menjadi pelengkap jalan dan
petualanganku yang tanpa henti. Aku menginginkan hal itu, tetapi aku cukup
sadar bahwa aku tidak pantas untuk meminta kepada Tuhan dengan segala anugerah
dan karunia-Nya yang telah aku terima. Sampai pada satu waktu itulah engkau
hadir dalam jalanku yang sebelumnya sunyi tanpa anak manusia. Aku pikir tidak
ada salahnya aku mempersilahkan dirimu untuk menempuh jalan bersamaku, dan aku
pikir aku akan sama seperti biasanya. Tetapi memang perasaan adalah misteri
yang tidak dapat aku ungkapkan. Rasanya memang jauh berbeda ketika memiliki
teman yang bersama-sama melangkah dalam perjalanan. Aku senang, meskipun pada kenyataannya engkau tidak selalu
menemani langkahku dan engkau pun bingung dalam melangkahkan dirimu. Saat
itulah, aku pikir engkau akan menjadi teman perjalananku, menemaniku selalu
seperti mereka-mereka yang memiliki teman perjalanan mereka. Lantas, aku
terlalu menabur harapan-harapan dan aku terlalu merasakan perjalanan dengan
orang lain sehingga aku lupa untuk mengendalikan diriku sendiri untuk mengantisipasi
hal-hal yang akan terjadi.
Dan saat-saat itu telah lama
berlalu kini, engkau memutuskan untuk memilih jalan yang lain. Sempat aku
terdiam di jalanku, hanya memandangimu yang semakin menjauh, tanpa aku sadari
waktu terus menuntutku untuk bergerak. Tetapi semuanya seolah menjadi beku
dalam diriku. Aku yang dulu dapat membentuk dan menjaga sebuah kekokohan
perasaan seketika ia runtuh dan hancur. Sekuat apapun aku mencoba mengais-ngais
dan membangun kembali reruntuhan itu aku tak sanggup. Sisa-sisa harapan itu
tampaknya kini hanya menjadi onggokan tak berguna yang terus aku pandangi. Aku
tidak mengerti, sungguh hidup ini aku rasa menjadi terlalu kejam. Jika
perasaanku harus hancur hanya karena ditinggalkan oleh seseorang yang aku
anggap akan menjadi temanku, kenapa Tuhan harus menambahkannya dalam kisahku?
Sedangkan aku tidak pernah meminta hal itu. Ingin rasanya sejuta pertanyaan aku
limpahkan kepada Tuhan, namun aku juga tahu aku tidak pantas melakukannya,
sedang diriku pun memiliki banyak kecacatan sebagai hamba-Nya.
Ya Tuhan, kanapa aku harus merasa
iri? Iri kepada mereka yang mempunyai teman di setiap waktu, yang dapat melampaui
sesuatu bersama-sama. Yang dapat memiliki waktu bersama untuk menikmati keadaan
di sekitar ini. Aku ingin dapat berdiri dengan diriku sendiri seperti waktu
itu. Aku tidak ingin meminta, tetapi sungguh berbeda saat ini, saat aku tidak
memiliki teman perjalanan lagi. Ya Tuhan, iringi rahmat-Mu dan lindungi aku
dalam setiap langkah, aku tidak ingin terus menyimpan rasa iri seperti ini. Aku
tahu dan yakin, Engkau pasti telah menyiapkan waktu yang indah bagiku untuk
semua itu. Tegarkanlah diriku, buatlah aku dapat menyimpan sisa-sisa harapanku
untuk bekalku di masa depan. Ya Tuhan, jika ada kesalahan dan khilafku saat
itu, maka ampunilah diriku, karena aku bukan apa-apa tanpa-Mu.
Cerita memang selalu hadir untuk
menjadi rangkaian pengalaman hidup, dan untukmu akan aku ikhlaskan perasaan
ini, karena aku tidak ingin terkungkung dalam pengharapan yang tidak pasti.
Biarkan saja aku menjalani semuanya sendiri lagi, sama seperti saat engkau
belum pernah hadir disini. Aku tidak akan menangis, atau setidaknya mencoba
untuk tidak menangis. Aku tahu aku akan mampu. Jika ini yang memang seharusnya
terjadi, maka aku yakin akan ada jalan terbaik bagiku yang telah dipilihkan. Jikalau
aku harus menangis saat ini, bukan berarti aku menyesali engkau yang telah
pergi, aku hanya menikmati proses dimana saat-saat aku harus membangun lagi
diriku dengan kekuatanku. Aku tidak akan pernah menyesal, tidak. Karena aku
tahu ada momen yang menungguku suatu saat nanti, persis saat bunga-bunga pun
tahu kapan mereka akan mekar dan merekahkan diri. J
Jakarta, 12 Juni 2012
(dalam sebuah kamar yang penuh akan pengharapan dan mimpi)
Label: My Side
Posting Komentar