Laki-laki itu, pertama kali aku melihatnya adalah saat ia duduk sendiri di sudut sebuah kantin sekolah. Kepalanya tertunduk, terfokus kepada minuman pop ice yang terhidang dingin di hadapannya. Sambil mengaduk-ngaduk esnya terus menerus, lelaki itu terdiam. Saat itu sudah pukul empat, sekolah telah sepi, mungkin hanya tinggal segelintir anak-anak saja yang masih betah untuk mengobrol di sanggar, atau beberapa pengurus takmir masjid yang lebih suka berdiam diri di mushola sekolah. Selain laki-laki itu hanya ada satu orang lagi di kantin ini, ya tentu saja si pemilik kantin, seorang laki-laki, namanya Pak Sis. Pak Sis adalah salah satu dari tukang kebun sekolahku juga. Biasanya yang menjaga kantin ini adalah Bu Sis, istri dari Pak Sis. Seorang perempuan paruh baya yang selalu halus dalam setiap tutur kata dan nada bicaranya. Bahkan menurutku Bu Sis tidak mempunyai bakat dalam berteriak, seperti layaknya yang sering dilakukan murid-murid sekolah ini saat berdesakan membeli jajan di waktu istirahat tiba. Karena waktu yang telah sore inilah yang membuat akhirnya Pak Sis menjaga kantin, sedangkan Bu Sis telah pulang terlebih dahulu. Pak Sis saat itu sedang asyik duduk di salah satu bangku kantin sambil mendengarkan radionya.
Aku rasa aku kenal siapa laki-laki itu. Ah tidak, lebih tepatnya tau, sebab tidak sekalipun aku pernah berbicara padanya, atau bahkan berkenalan dengannya. Namun, siapa yang tidak kenal oleh laki-laki itu? Dia sempat membuat sebuah gosip sensasional di seluruh antero sekolahan. Gosip tentang bahwa laki-laki itu menyukai seorang gadis ter-alim dan bisa dikatakan dalam jajaran murid terpintar di sekolahan. Siapa sangka dia bisa seberani itu? Dulu, mungkin saat hanya mendengar sebatas nama dan gosip dari anak-anak yang lain aku tidak begitu menanggapi, tidak peduli. Namun belakangan, saat aku telah mengetahui wajahnya dan berkumpul beberapa kali saat rapat sanggar, kini aku mengerti kenapa anak-anak berpikir seperti itu.
“Mau pesan apa, nduk?”, pertanyaan Pak Sis tiba-tiba saja membuyarkan konsentrasiku pada laki-laki itu.
“Eh, ehm... anu pak, es aja, pop ice rasa kacang hijau”, pintaku kepada Pak Sis, menyebutkan minuman favoritku di kantin itu. “Es batunya jangan banyak-banyak ya pak”, tambahku.
Pak Sis mengangguk mengiyakan, dan kemudian ia beralih membuatkan pesananku. Aku mengambil tempat duduk yang berseberangan dengan laki-laki itu. Dari situ aku bisa melihat tulisan yang tertera di belakang jaketnya yang berwarna silver “Gendhiz”, itu adalah nama kelas yang dibentuk oleh anak-anak kelas XD. Pak Sis lalu membawakan es pesananku ke meja.
“Mau pesen makan juga?”, tanyanya. Aku hanya menggeleng sambil tersenyum.
“Sudah mau tutup pak kantinnya?”, tanyaku.
“Iya, ini sebentar lagi”, jawab Pak Sis sambil kembali asyik mendengarkan radionya yang memutar lagu-lagu campursari setengah dangdut koplo.
Aku menikmati minumanku sambil terus memperhatikan laki-laki itu. Bukan karena tertarik, hanya saja aku penasaran tentang bagaimana kepribadiannya. Jika dilihat dari luar, hampir tidak ada yang bisa dikatakan menarik darinya, semuanya berantakan. Caranya memakai baju, sampai terlihat lusuh sekali seragamnya. Rambutnya, aku yakin, rambut itu tampak seperti rambut yang sudah berhari-hari tidak disisir. Belum lagi ditambah dengan polesan semir berwarna merah di rambutnya itu. Aku juga yakin, pasti itu semir murahan, terlihat dari warna yang kusam dan noraknya. Tubuhnya, relatif dikatakan pendek daripada anak-anak yang lain. Kulitnya juga hitam. Belum lagi ditambah dengan aksen dan gayanya yang selalu tampak nervous setiap waktu. Aku tidak tahu itu adalah kebiasaan atau kelainan dalam dirinya. Semua orang juga tahu bahwa dia tidak pernah bisa terlihat tenang saat berada di hadapan orang lain, bahkan untuk bercakap-cakap biasa sekalipun. Sebuah panggilan akhirnya mengakhiri mataku yang memperhatikannya.
“Fadli, ayo pulang!”, seru seseorang dari luar kantin. Aku pernah melihat orang itu beberapa kali di organisasi Pramuka, namanya Edy. Aku yakin dia adalah teman dekat dari Fadli, sebab mereka selalu terlihat bersama-sama. Tanpa berkata apapun, laki-laki yang bernama Fadli itupun kemudian langsung menghabiskan minumannya, dan kemudian membayar minumannya itu. Sesaat kemudian ia langsung pergi keluar kantin. Aku masih memperhatikannya sampai ia benar-benar hilang setelah melewati sudut pintu kantin.
“Kantinnya mau tutup dulu ya, nduk”, kata Pak Sis. Aku membuyarkan lamunanku sambil kemudian terrsenyum kikuk.
“Eh, iya pak... ini...”, kataku sambil membayar minuman. “Makasih ya pak”, tambahku sambil kemudian pergi keluar kantin. Pak Sis hanya tersenyum sambil mengiyakan.
Aku merasakan semilir angin menerpa wajahku saat menyusuri lorong sekolah menuju sanggar. Aku memejamkan mata sembari menikmati terpaan angin itu. Kemudian aku tersenyum dalam hati saat membayangkan laki-laki bernama Fadli tadi. Orang yang sering di anggap aneh oleh yang lain, siapa tau justru lebih normal daripada yang lain. Who knows?
Label: Cerpen
Posting Komentar