Saat itu kelasku sedang kosong pelajaran. Suasana gaduh sekali. Aku hanya terdiam di bangkuku seperti biasanya. Di hadapanku terdapat buku-buku pelajaran matematika yang seharusnya saat ini sedang berlangsung. Ku biarkan buku-buku itu berserakan seenaknya saja. Aku tak ada mood untuk melakukan apapun. Aku hanya ingin kelas ini cepat berakhir dan aku bisa segera pulang untuk tidur. Kucoba benamkan wajahku di buku-buku itu, berharap keletihan ini juga akan segera pergi. Aku melirik sesaat keadaan kelas, teman-temanku yang lain sibuk bernyanyi dan berjoget ria di depan kelas. Kelasku cukup besar dibanding dengan kelas lain, sehingga cukup banyak ruang untuk menjadi ajang permainan di dalamnya. Ada yang berkutat dengan handphonenya. Ada yang sibuk berteriak dan main kejar-kejaran. Ada pula yang malah pergi nongkrong di kantin. Oh Tuhan, siswa SMA macam apa ini, batinku. Meskipun baru menginjak di kelas X, tetapi aku sudah bertingkah layaknya orang dewasa yang memikirkan negara. Lucu dan aneh memang, tapi entah, itulah aku. Selalu ingin memandang jauh ke depan terhadap negara ini.
           Ketika ingin kubenamkan kembali wajahku di tumpukan buku, saat itulah aku melihat sosok lelaki melintas di depan kelasku. Sontak aku berlari ingin mengikutinya, ketika sampai di pintu kelas aku teriakkan namanya...
"Mas adiib...!"
Seketika lelaki dengan tinggi rata-rata yang menjadi kakak kelasku itu menoleh, dan dengan keramahan senyumnya yang familiar dia berkata...
"Hei nduk..."
"Mas adiib mau kemana?" tanyaku, sambil kemudian mengikuti langkahnya di belakang.
"Ini lho mau ke sanggar. Sanggar kita sudah jadi, adek sudah tahu?" tanyanya.
"Maksudnya sanggar sastra?"
Mas adiib mengangguk.
"Belum mas, memang pembongkarannya sudah jadi?" tanyaku lagi.
"Sudah sejak liburan kemarin kok. Sekarang jadi sanggar yang buesar. he he he..." ucap mas Adiib.
"Iya kah? Wah, gak sabar pengen tahu" jawabku.
       Kami kemudian berjalan menyusuri koridor sekolah yang menuju ke sanggar tersebut. Sanggar itu merupakan Sanggar Sastra Siswa Indonesia milik kami. Sanggar yang hanya ada sekitar dua puluhan di Indonesia, hebat bukan? Dan Mas Adiib inilah Ketua kami, Ketua Sanggar. Satu-satunya Ketua dari semua organisasi di sekolah yang paling ramah, menurutku. Dan bagiku dia juga adalah seorang multitalent. Bisa melukis, bisa menyair, punya banyak pengetahuan, karya-karyanya top banget pokoknya. Dia juga merupakan partnerku dalam divisi artikel majalah sekolah yang bernama "Artesis".
            Kami tiba di suatu persimpangan kecil koridor sekolah. Di sudut persimpangan itulah sanggar kami berada. Tadinya, sanggar ini tidak memiliki tempat, sebab kegiatannya pun hampir dapat dikatakan nihil dalam beberapa tahun. Mas Adiib inilah yang kemudian mencetuskan gudang kecil di persimpangan koridor ini menjadi rumah kedua kami. Sekarang memang sanggar kami menjadi dua kali lipat lebih besar. Ukurannya sekitar 3x5 meter. Cukuplah untuk menampung banyak orang, pikirku, apalagi memang anggota yang terdaftar di sanggar ini banyak jumlahnya, sekitar 80an, tapi aku yakin kualitas tidak sebanyak kuantitas. Sanggar itu kini telah dilapisi oleh karpet tipis berwarna hijau. Gentengnya sebagian digantikan dengan semacam seng yang transparan agar ada cahaya yang masuk. Di temboknya, terdapat sebuah papan putih berukuran besar, di sudut-sudut ruangannya juga terdapat alat-alat kebersihan, sampai bahkan vacum cleaner milik mushola pun ada disitu. Ada sebuah lemari berukuran besar berdiri tegak pada salah satu sudut. Lemari itulah pasti menyimpan alat-alat tulis dan beberapa keperluan tulis lainnya. Selain itu, masih ada satu meja panjang yang pendek di dalam sanggar. Beberapa hiasan tembok telah dipasang, desainer dari hiasan tersebut tidak bukan dan tidak lain adalah Mas Kris, anggota sanggar yang juga kakak kelasku, yang mempunyai kemampuan luar biasa di bidang seni rupa. Imajinasinya mampu menciptakan kekuatan yang hidup di setiap karyanya. Dan aku adalah salah satu orang yang sangat mengaguminya. 
            Ketika aku dan Mas Adiib sampai di sanggar, sudah ada beberapa orang di sanggar tersebut. mereka menyambut kedatangan kami. Di antaranya adalah Mas Faisal, kakak kelasku yang aku pikir orang yang sangat dermawan. Dia juga baik hati serta perhatian (menurutku lagi). Disana juga ada Azizah, seorang perempuan yang seangkatan denganku, namun berbeda kelas. Azizah adalah seseorang yang sangat memiliki darah sastra di setiap karyanya. Setiap karya sastra yang dia luapkan entah itu berbentuk cerpen, puisi, novel, atau sebagainya, mempunyai kekuatan tersendiri. Mempunyai kemampuan menghipnotis bagi yang membacanya. Azizah memiliki raut wajah yang bulat namun manis. Tawanya membuat sipit kedua matanya. Dan dia adalah orang yang sangat loyal di komunitas sastra ini. Selanjutnya, disana juga ada Velix, temanku satu kelas. Meskipun aku tidak mampu mengakui kehebatan sastranya, namun dia begitu terlihat mengabdi di komunitas kami, sebuah langkah yang baik bukan? Ada juga dua orang dari kelas lain, yang satu mempunyai julukan panggilan "Bokir", aku tidak begitu ngeh siapa nama aslinya, toh aku juga cuek, tidak mesti semua orang harus aku kenal. Yang kedua, kawanannya, biasanya dipanggil "Nowo", aku bingung, entah bagaimana anak-anak bisa memanggil nama itu begitu mudah, sedangkan aku sulit. Yah aku pikir, panggilan itu sangat buruk, sehingga membuatku tidak pernah mau memanggil namanya. Lagipula nama aslinya yang terdapat di seragam tertulis "Adiwidia.H" kok, jadi aku panggil saja dia Adiwidia. Bokir dan Adiwidia ini tidak pernah lepas satu sama lain setahuku. Kemana-mana selalu bersama. Bokir mempunyai sikap yang ramah kepada siapa-pun termasuk aku, itu yang aku suka darinya. Lain dan beda dari Bokir, Adiwidia adalah seorang laki-laki yang sangat pendiam. Jangankan ramah, menyapaku saja dia tak pernah, so what pikirku, siapa juga yang peduli dengannya. 
          Ketika aku dan Mas Adiib masuk ke sanggar itu, anak-anak tampak sedang ceria-cerianya bercerita satu sama lain. Saling bercanda dan lain-lain. Lantas, aku mulai ikut dalam diskusi antara Mas Faisal dan Azizah, tentang bagaimana acara besar kami, yaitu Bedah Buku Antologi Puisi bisa sukses bulan Agustus nanti. Sedangkan di sudut lain Velix, Bokir dan Adiwidia sedang asyik dengan diri mereka sendiri. Suasana terasa sangat panas di ruang ini. Aku benci kepanasan ini, sungguh membuatku sangat gerah dan tidak betah. Tanpa aku sadari justru di masa depan nanti aku akan sangat merindukan tempat ini. Sangat, sangat, sangat akan aku rindukan.