Malam ini basah, seperti biasanya. Tetesan air hujan yang akhir-akhir ini terus turun sepanjang malam tak kunjung jua berhenti menimpa sepanjang jalan ini. Aroma daun bercampur air, serta tanah basah yang khas semerbak di segala penjuru. Aku masih terus berdiam diri di kursi tua ini. Di kursi yang kayunya sudah mulai rapuh dan dihiasi oleh cat berwarna hijau yang sudah terkelupas dimana-mana. Sebuah telaga kecil terdiam di depanku. Airnya berwarna hijau ketuaan menandakan banyaknya ganggang yang bersemayam di dalamnya. Tersandar ku sendiri. Angin malam sedikit berbisik berceloteh dan berdansa ria di telingaku, membuat dingin semakin merasuk. Tetapi aku tetap disini. Sendiri.

        Aku coba untuk mengalihkan pandanganku pada air yang menetes di kolam. Rerumputan hijau sepanjang taman ini menambah sayu suasana malam. Sudah hampir 3 jam aku menunggu disini. Menunggu kedatanganmu. Menunggu kamu akan membawa sebuah syair yang aku pinta. Sebuah syair yang tidak berlebih aku harapkan. Mungkin sebait? Tak masalah untukku. Bulu romaku mulai naik, bukan karena keadaan taman yang sepi atau karena hanya ada seberkas cahaya lampu jalan yang redup disini. Sungguh, angin malam sangat mengganggu keadaan disini. Dingin, sangat dingin. Bahkan aku merasa tanganku hampir membeku dibuainya. Jaket tersayangku yang selalu aku bawa tertinggal di rumah saat aku terburu-buru datang kesini. Aku melirik arloji. 15 menit lagi adalah waktuku untuk terlambat pulang ke rumah, atau aku akan di hajar habis-habisan oleh orangtuaku. Aku tak peduli? Aku akan tetap menunggumu disini.

            Tempat ini, merupakan tempat dimana kita saling berbincang untuk pertama kali. Meskipun kita sudah mengenal selama 2 tahun, lucu bukan? Padahal kita bersekolah di tempat yang sama. Bahkan rumah kita juga tidak cukup jauh. Disini kita mulai berbagi cerita, disini pertama kali aku melihatmu bisa tersenyum. Hmmz, tapi itu cuma cerita lalu bukan? Yang telah kita bungkus rapi dan menyimpannya dalam kotak, lalu disimpan dalam lemari. Andaikan kita tidak membungkusnya, bukankah masih banyak cerita yang bisa kita bagi? Handphoneku bergetar, tertulis namamu disana, ku pencet tombol ok, dan terdengar suaramu d ujung sana. Suara yang telah sekian lama aku nantikan.
"Halo?" aku menjawab
"Halo Ros? Kamu dimana?" tanyamu
"Aku masih ditempat yang kita janjikan"
"Maaf, aku lupa untuk datang, sebentar lagi aku akan segera tiba disana"
"Baiklah"
Telepon terputus. Aku terdiam. Bagaimana bisa dia melupakan janji ini? Atau mungkin aku yang terlalu peduli terhadap janji ini. Kamu memang jarang mengingat semua yang telah kamu ucapkan. Tapi tidak untuk ini-seharusnya. 

            Angin membelai-belai gaun blusku yang berwarna krem. Daun-daun kering mulai jatuh. Langit sangat tidak bersahabat sepertinya. 10 menit kemudian kudengar deru suara motor sayup-sayup. Aku tau, itu pasti kamu. Derap kaki, perlahan mengahampiriku, tetapi aku tidak sedikitpun menoleh.
"Rosa, maaf, aku benar-benar lupa", ucapmu. Aku merasakan kehadiranmu yang kini duduk disampingku.
Aku masih terdiam, memandangi tetesan air yang jatuh ke kolam.
"Ya, dan pasti kamu lupa untuk membawakan yang aku minta", jawabku.
Sunyi sesaat. Hingga akhirnya kau melepaskannya.
"Tidak Ros, aku tidak lupa. Hanya saja... aku tidak akan mungkin sanggup melakukannya"
"Maksudmu?", sekarang aku menoleh.
"Rosa... maaf, aku memang tidak akan pernah bisa menjadi apa yang kamu harapkan. Aku tidak bisa memaksakan diri untuk itu. Walaupun aku bisa, tetapi egoku sulit untuk dikalahkan."
"Jadi, aku tidak bisa berada di posisi dalam hatimu?", akhirnya meleleh juga sesuatu yang berada dalam mataku, seketika jatuh.
"Bukan, tetapi aku rasa aku tak mampu..."
"Merasa tidak mampu bukan alasan yang tepat, ketidakmampuan hanyalah fiktif belaka yang selalu orang-orang egois pakai", aku mulai merasa sesak, seperti ada yang, menghimpit napasku.
"Rosa, aku rasa aku memang tidak bisa mendampingimu", kau mulai berkaca-kaca. Lantas kau ingin pergi begitu saja. Aku berdiri, menarik lenganmu. 
"Sungguh, aku tidak ingin kamu pergi. Tidak bisakah kau untuk tinggal?", aku mulai menangis.
"Aku takut untuk selalu melukaimu, aku tidak ingin kita terus begini."
"Kamu pikir aku ingin? Aku juga tidak pernah mengharap ini akan terjadi. Kamu yang memulai perubahan itu!", air mataku semakin deras. Kamu menatapku, memelukku seketika. Aku runtuh. Runtuh sudah. Bagaimana lagi caraku untuk menahanmu? Bagaimana lagi caraku agar kamu mengerti agar kita bisa saling peduli? Aku ingin kita seperti dulu, kamu peduli, begitu pun aku. Entah mengapa justru waktu ini yang terasa menyihir segalanya. Kamu bagaikan air di kolam itu, ingin mengalir bebas namun hanya berdiam diri. Aku sungguh tidak mengerti. Tidak. Dan aku tidak ingin melepas pelukkanmu. Tidak.