Dalam artikel yang berjudul Regionalism in Historical Perspective ini diulas tentang bagaimana pembentukan sebuah regionalisme itu dimulai, baik mulanya berdasarkan  kebutuhan negara-negara itu sendiri ataupun berdasarkan efek yang ditimbulkan pada kondisi tertentu yang terjadi saat itu juga sehingga memunculkan pembentukan regionalisme. Dalam pembahasannya ini penulis juga mengungkapkan opini tentang faktor apa yang diyakini sebagai motif pembentukan regionalisme, bagaimana sebuah konsep regionalisme kemudian mampu secara fluktuatif bersifat resisten dan bahkan eksis melebihi jangkauannya di masa lampau. Regionalisme sendiri dipandang sebagai sebuah formasi dari negara-negara yang saling ketergantungan dan terhubung atau berdekatan satu sama lain dalam konteks wilayah.
Konsep regionalisme dibagi menjadi dua, yaitu regionalisme lama dan regionalisme baru. Regionalisme lama dipandang sebagai sebuah konsep pembentukan organisasi antar-negara dimana tidak dapat dilepaskan dari keberadaan Perang Dingin pada saat itu, yang kemudian mengakibatkan negara-negara selain Uni Soviet dan Amerika Serikat harus memilih mendukung Blok Barat atau Blok Timur. Tetapi kemudian muncul terminologi “The Third World” yaitu negara-negara yang tergabung dalam sebuah organisasi Non-Blok. Adanya ketiga blok atau persekutuan ini kemudian dipandang sebagai sebuah cikal bakal lahirnya regionalisme baru yang ada saat ini. Sedangkan regionalisme baru itu sendiri, dipahami sebagai sebuah konsep persekutuan antar-negara yang muncul pasca berakhirnya perang dingin, dan melahirkan orientasi-orientasi regionalisme sebagai wadah perubahan khususnya di bidang politik maupun ekonomi.
Sebuah diskursus yang menarik kemudian dalam artikel ini adalah bagaimana regionalisme baru tersebut menjadi sebuah akhir dari Dunia Ketiga. Dalam kata lain, tidak ada lagi kotak-kotak kepentingan antara negara inti dengan negara periferi, tetapi adalah bagaimana seluruh negara di sistem internasional tersebut saling berkompetisi dan tarik menarik keuntungan yang terjalin melalui kerjasama dalam rangka memenuhi kepentingan nasional mereka. Bahkan, negara-negara yang awalnya dikategorikan sebagai negara Dunia Ketiga justru menjadi sebuah stimultan dalam pembangunan nasional, mempromosikan stabilitas politik dan perkembangan ekonomi, dan juga memperkuat demokrasi melalui penguatan kepemimpinan masing-masing negara. Sebuah fenomena yang menarik juga adalah bagaimana regionalisme ini kemudian mampu memberikan efek globalisasi di dunia. Ada yang perlu ditambahkan dalam pembahasan artikel ini yaitu bagaimana globalisasi dapat terbentuk dari glokalisme-glokalisme regional itu sendiri. Sedangkan diskursus yang lebih banyak dibahas adalah tentang desentralisasi kekuasaan politik dan perubahan di bidang ekonomi yang mengakibatkan terintegrasinya negara-negara dalam wadah regionalisme sehingga fenomena globalisasi (keadaan yang mengglobal dalam masing-masing regionalisme) tersebut tidak dapat dihindarkan keberadaannya.
Jadi, bagaimana sebuah kemunculan regionalisme dapat mempengaruhi sistem internasional tidak dapat dipisahkan dari dua perspektif konsepnya yang masing-masing memiliki tujuan dan alasan tersendiri. Namun, baik konsep regionalisme lama ataupun baru, keduanya sama-sama berkaitan dan tidak mampu dipisahkan. Regionalisme lama menjadi sebuah acuan bagi perkembangan konsep regionalisme baru saat ini agar dapat menjadi lebih baik. Jika regionalisme lama terbatas hanya terhadap kepentingan politik semata, maka regionalisme baru menjelma menjadi sebuah revolusi yang mampu memberikan keuntungan politik sekaligus ekonomi dan juga dimensi kehidupan lainnya bagi seluruh negara di dunia yang berkompetisi secara sportif dan memiliki takaran yang sama satu sama lain. Hal yang perlu menjadi perhatian saat ini adalah bagaimana regionalisme mampu mendorong berkembangnya fenomena globalisasi, dimana seharusnya negara itu sendiri mampu menguatkan otonomi nasionalnya melalui keberadaan dan keefektifan regionalisme.