Dalam bukunya yang berjudul International Relations in Southeast Asia, Donald E Weatherbee khususnya di chapter 4 kurang lebih menjelaskan tentang bagaimana dinamika regionalisme yang dihadapi oleh ASEAN sejak pembentukannya hingga umurnya yang mendekati lima dekade pada saat ini. ASEAN merupakan sebuah regionalisme yang lebih didefinisikan berdasarkan kedekatan regional antar-negara dan sebuah asosiasi formal di bidang politik maupun ekonomi yang mempromosikan kerjasama internasional satu sama lain. Kecenderungan pembentukan ASEAN merupakan motif ekonomi, maka dapat dimaklumi jika dalam perkembangannya ASEAN menghasilkan banyak pertemuan-pertemuan maupun mengadakan kerjasama multilateral (baik ASEAN dengan negara lain maupun beberapa anggota ASEAN dengan negara lain). Namun dibalik kesuksesan regionalisme ASEAN ini dalam membangun dan mengembangkan perekonomian negara-negara anggotanya, tentu terdapat berbagai konflik maupun masa-masa fluktuatif yang menerpanya. Berbagai dinamika yang dihadapinya inilah yang kini mampu membawa ASEAN dalam kerjasama yang lebih kompleks dan komplementer, yang sedang diramu menjadi bentuk framework ASEAN Community.
       ASEAN lahir pada tahun 1967 dengan lima negara prakarsanya yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Filiphina dan Thailand. Dalam perkembangannya kini, ASEAN telah memiliki sepuluh anggota tetap yaitu dengan tambahan negara Kamboja, Laos, Vietnam, Myanmar dan Brunei Darussalam. Pembentukan ASEAN sendiri mulanya dikarenakan untuk membendung negara-negara anggotanya dari ideologi komunis, maka tidak heran jika negara-negara lain bergabung setelah dibentuknya ASEAN (kecuali Brunei yang baru menjadi anggota ASEAN setelah merdeka dan berpisah dari federasi Malaysia). Masuknya keempat negara tersebut yang lebih dikenal sebagai CLMV (Cambodia, Lao, Myanmar, Vietnam) bukanlah hal yang mudah mengingat track record yang dimiliki masing-masing negara  tersebut. Hal itulah yang sempat membuat dinamika fluktuatif ASEAN dengan negara-negara lain.
Hubungan antara ASEAN dengan Uni Eropa maupun negara Barat seperti Amerika Serikat sempat mengalami penurunan karena mereka menolak hadirnya Myanmar, Kamboja dan Vietnam dalam ASEAN. Hal ini semakin rumit ketika era militer junta di Myanmar juga menolak memperbaiki atau mengubah politik domestiknya. Myanmar pun sempat dianggap bagaikan kanker dalam tubuh ASEAN yang semakin menggerogoti kredibilitas ASEAN sebagai representasi negara bangsa yang demokratis. Kamboja, juga sempat andil dalam menurunkan citra ASEAN di dunia internasional dengan perpolitikan domestiknya yang mengalami masalah. Meskipun negara-negara ASEAN menggunakan prinsip non-intervensi namun tetap diperlukan adanya pengajuan solusi untuk perpolitikan domestik yang mampu mempengaruhi keamanan dan stabilitas kawasan ASEAN. Dengan kesabaran yang penuh dan proses yang tidak praktis, ASEAN mampu memperbaiki dinamika negara-negara kawasannya melalui prinsip penyelesaian masalahnya yaitu menggunakan musyawarah mufakat.
Menarik yang dijelaskan dalam buku ini tentang dinamika fluktuatif di ASEAN adalah bagaimana negara-negara anggotanya yang notabene merupakan negara baru merdeka mampu menyelesaikan permasalahan mereka tanpa adanya terlibat dalam konflik tersebut. Meskipun demikian, masih adanya kesenjangan antara negara inti (negara pendiri ASEAN) dengan negara-negara yang baru saja masuk dalam ASEAN, khususnya di bidang ekonomi. Dilandasi dengan kecenderungannya dalam kerjasama ekonomi, maka ASEAN berusaha semaksimal mungkin untuk menghindari konflik dan terus mengembangkan kerjasama antar-negara anggotanya. Bentuk kerjasama ekonomi yang komplementer ini diwujudkan dalam “Initiative for ASEAN Integration” yang kemudian akan diimplementasikan secara nyata melalui ASEAN Community pada tahun 2015.