Berbicara mengenai konflik dalam hubungan internasional,
konflik dapat dibagi menjadi dua jenis berdasarkan aktornya. Pertama, intrastate conflict (konflik internal), kedua yaitu interstate conflict (konflik antar-negara). Disiplin ilmu
hubungan internasional saat ini, banyak menyoroti terjadinya konflik-konflik
internal di berbagai negara yang menjadi isu internasional. Salah satu konflik
internal yang menjadi isu internasional dialami oleh Negara Republik Demokratik
Kongo (RDK). Konflik internal yang terjadi dalam RDK berlangsung sejak tahun
1996 dan melibatkan banyak negara. Negara-negara tersebut diantaranya Rwanda,
Angola, Namibia, dan Burundi. Hingga kini, konflik dalam RDK belum memiliki
penyelesaian yang signifikan.
Konflik internal RDK, diawali pada dekade 1960an saat RDK
baru saja memerdekakan diri dari Belgia. Kala itu, Presiden yang terpilih
adalah Mobutu Sese Seko. Mobutu Sese Seko mengubah nama RDK menjadi Zaire, dan
memerintah RDK selama tahun 1965-1996, sebelum akhirnya digulingkan oleh
pemberontak. Selama memerintah, Mobutu Sese Seko banyak melakukan tindakan
otoriter yang membuat masyarakat RDK resah. Penggulingan Mobutu Sese Seko ini
dipimpin oleh Laurent Kabila. Laurent Kabila, dalam menyusun strategi penggulingan
Mobutu, beraliansi dengan Rwanda dan Uganda. Aliansi Rwanda serta Uganda
terhadap konflik RDK ini, tidak lain disebabkan oleh kepentingan untuk
menguasai sumber daya RDK. Namun, pasca mengalami kemenangan, Laurent Kabila
mengusir seluruh tentara Rwanda dan Uganda. Tindakan inilah yang menyebabkan
berkobarnya Perang Afrika Tengah di tahun 1998.
Pasca mendapatkan kemenangan, Laurent Kabila mengembalikan
nama Zaire menjadi Republik Demokratik Kongo. Atas janji yang tidak ditepatinya
terhadap Rwanda dan Uganda, RDK kembali mengalami peperangan di tahun 1998.
Setidaknya terdapat 9 negara yang terlibat dalam Perang Kongo ke-2 ini. Selain
itu, terdapat sejumlah 20 kelompok pemberontak yang terlibat dalam perang ini.
Perang Kongo ke-2 kemudian disebut sebagai Perang Afrika Tengah, karena
melibatkan hampir seluruh negara Afrika Tengah. Keterlibatan negara-negara dan
kelompok pemberontak tersebut dilandasi aliansi dan kepentingan mengeksplorasi
sumber daya yang ada di RDK. Selain itu, beberapa kelompok pemberontak juga
saling berebut kepentingan politik untuk etnisnya sendiri. Perang Afrika Tengah
ini kemudian berakhir pada tahun 2003, dimana setidaknya 5,4 juta jiwa
meninggal dunia, dan jutaan orang lainnya hidup dalam kelaparan, kemiskinan dan
tidak memiliki tempat tinggal.
Berakhirnya Perang Afrika Tengah tersebut bukan berarti
kedamaian bagi Kongo. Kongo kemudian diperintah oleh Joseph Kabila, anak dari
Laurent kabila. Selama masa pemerintahannya, masih terdapat banyak
pemberontakan, terutama di wilayah timur RDK. Kelompok-kelompok pemberontak ini
menuntut hak-hak politik dan kekuasaan etnik tertentu. Salah satu kelompok
pemberontak yang paling kejam disebut kelompok M23. M23 digawangi oleh etnis
Tutsi dan dilansir banyak didukung serta dipersenjatai oleh negara Rwanda.
Kelompok M23 banyak membunuh warga sipil, dan melakukan kasus pemerkosaan
paling besar sepanjang masa di RDK. Untuk mengatasi kelompok ini, PBB
mengirimkan pasukan peacekeeping-nya
yang menjadikan RDK sebagai negara dengan pasukan peacekeeping PBB terbanyak selama ini.
Pemberontakan M23 berakhir pada Januari 2013, namun muncul kembali pada
November 2013. Pemberontakan ini terjadi lagi setelah kelompok M23 merasa bahwa
kebutuhan politiknya masih belum dipenuhi oleh pemerintah.
Konflik internal yang terjadi di RDK, dapat ditinjau
berdasarkan pendekatan struktural konflik. Pendekatan struktural menekankan
pada aspek ketimpangan sumber daya (baik ekonomi, sosial, politik) yang
menyebabkan terjadinya konflik. Ketimpangan sumber daya yang dialami oleh masyarakat
RDK sendiri lebih dilatarbelakangi oleh faktor politik (keinginan menguasai
oleh satu etnis tertentu). Sedangkan ketimpangan sumber daya juga dialami
dengan negara lain, dimana negara-negara Afrika Tengah ingin turut andil dalam
penguasaan sumber daya alam RDK untuk menopang perekonomiannya. Kedua faktor
ini yang menyebabkan terjadi konflik sosial berkepanjangan (protacted social
conflict) terjadi di RDK hingga saat ini.
Konflik internal ini juga dapat ditinjau melalui teori
transformasi konflik. Teori transformasi konflik menyatakan bahwa permasalahan
atau konflik muncul dikarenakan tidak adanya kesetaraan dan keadilan dalam
aspek sosial, ekonomi maupun budaya. Kembalinya kelompok pemberontak M23 di RDK
dalam menggunakan aksi kekerasan terhadap warga sipil, menunjukkan
ketidakpuasan mereka pada pemerintah. Konflik dan penggunaan kekerasan tersebut
akan berhenti apabila mereka telah mendapatkan pengakuan dan kepentingan
politik mereka di RDK. Sedangkan, negara-negara Afrika Tengah yang turut andil
dalam memperluas konflik, seperti Rwanda, Burundi dan Angola dapat
dikategorikan pada perspektif teori kebutuhan manusia, dengan motif kepentingan
ekonomi.
Perdamaian adalah sebuah harga yang mahal untuk Republik
Demokratik Kongo. Sulitnya proses perdamaian disebabkan belum adanya kemauan
yang jelas diantara pihak-pihak yang bertikai dalam menyelesaikan konflik. Dari
segi pemerintahan, belum adanya mekanisme secara politik yang mampu memberikan
kesempatan pada kelompok tertentu untuk memenuhi kebutuhannya. Selain itu,
faktor lingkungan regional yang saling berebut kepentingan pun belum dapat
diselesaikan dalam level pemerintahan. Resolusi konflik untuk kasus RDK ini
akan membutuhkan waktu yang panjang untuk mencapai perdamaian. Jalur
rekonsiliasi dibutuhkan dalam proses penyelesaian konflik dan menjaga
perdamaian di Republik Demokratik Kongo .
Menurut Johan Galtung dalam bukunya yang berjudul “Trancend
and Transform: An Introduction to Conflict Work”, sebuah resolusi konflik
dan perdamaian dapat terjadi apabila masing-masing pihak memandang penyelesaian
konflik melalui cara yang konstruktif dan mengarah pada masa depan, bukan
dengan cara destruktif dan mengungkit masa lalu. Hal ini juga lah yang patut
diperhatikan dalam penyelesaian konflik di RDK. Pendekatan dalam resolusi
konflik dapat dilakukan dengan fokus pada dinamika konflik. Pertama-tama yaitu
membangun kepercayaan masing-masing pihak dengan menyelenggarakan dialog secara
damai tanpa kekerasan (ini juga berarti penarikan pasukan peacekeeping PBB).
Setelah itu, untuk mencapai resolusi konflik dan perdamaian, diperlukan pula
fokus pada kebutuhan mendasar. Pemerintah RDK perlu memberikan hak politik pada
kelompok pemberontak, misal dengan memperbolehkan pendirian partai politik atas
dasar etnisnya. Dalam kasus antar negara, pemerintah RDK perlu juga membangun
dialog antar negara Afrika Tengah dan membuat kawasan regional tersebut dalam
kerangka kerjasama ekonomi yang saling menguntungkan.
Label: Opini
Kamu harus jabarkan fakta2 mengejutkan yg belum pernah terekspos. Artikelmu secara penulisan bagus, tapi secara materi biasa aja. Sebuah kisah lama di Afrika Tengah tentang segala macam efek samping peperangan dan penyebabnya. Sebagai penikmat film aku merekomendasikan cara Kevin Macdonald dalam menyutradai The Last King of Scotland.
BalasHapusWhehehe, sip deh, makasih atas kritik dan sarannya, ke depannya mudah2an bisa lebih baik :D
HapusMacGaffey, “the colonial African elite thus lacked education, administrative and managerial experience, and wealth. At independence, the Belgians handed over political but not economic control, so that the new dominant class based its power on control of the state, while ownership of the economy remained in the hands of the big foreign mining and plantation companies.”
BalasHapusKongo punya sumber daya alam yang melimpah layaknya Indonesia, sayang SDA itu mayoritas dikuasai asing. Hal ini berakibat ekonomi di kongo dapat dipermainkan para investor asing hingga menyebabkan ketidakstabilan kondisi ekonomi, dan memicu konflik. Memang sebuah keharusan bagi negara yang memiliki SDA melimpah, pendidikan harus maju. Agar bangsa sendiri dapat mengolah SDA itu. Ketidakmampuan mengolah SDA sendiri akan menjadi bumerang.
Demokrasi di kongo adalah demokrasi yang buruk, teringat tulisan Gus Dur di kompas 18/11/1993. "Demokrasi tidak berhenti pada tataran prosedural belaka. Demokrasi harus mampu mewujudkan kemaslahatan bagi rakyat, terutama mereka yang paling lemah, papa, miskin, dan tertindas. Pahami orang lain, tumpahkan kebersamaan yang utuh dengan segala pihak, junjung tinggi kebebasan sebagai sarana demokrasi."
Oh iya, ada paper buat sampean tentang kongo. Judulnya "Governance Crisis and Conflict in the Democratic Republic of Congo" oleh Seema Shekawat, University of Mumbai. Paper itu mungkin bisa menjadi acuan referensi yang bagus untuk menyempurnakan tulisan sampean ini.
Hehei, aku gak terlalu ngikutin berita tentang RDK sih, tapi dari tulisan ini setidaknya aku jadi lebih tahu keadaan di sana. Kalau memang ada fakta-fakta tersembunyi yang bisa diungkap dan disampaikan lewat tulisan ini memang lebih bagus, seperti yang dibilang mas Mandala Faizy, hehe
BalasHapusKita juga berdoa mudah-mudahan konflik di RDK bisa mencapai titik temu dan perdamaian yang mensejahterakan setiap pihak :)
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusAku tidak mengikuti sejarah Negara Kongo, tetapi biasanya bila ada negara yang memiliki SDA yang melimpah sedang SDM yang miskin, kemungkinan nnegara tersebut tidak akan bisa mengolah kekayaan negerinya, sehingga datanglah bangsa asing yang memiliki kepentingan untuk mengexsplorasi sumber alam di negara tersebut, jika negara itu hendak mandiri dan memutuskan hubungan denga negara asing yang diwakili perushaannya, makan sudah pasti akan disiapkan “sekenario” kerusuhan di negara yang kaya SDA itu, dan membuat konsentrasi pemerintah negara miskin SDM terpecah atau bahkan menggulingkan pemimpin yang berani tersebut dan menggantikannya dengan pemimpin yang dikehendaki ”sutradara” lalu menjadikanya pemimpin boneka dengan memberikan “mainan” kepadanya.....
BalasHapus