“Keputusan kan
ada di dirimu sendiri, bukannya aku mau menjelek-jelekkan, tetapi hati-hati
lah”. Tatapan matanya yang setengah meruncing rasanya berkata-kata seperti itu
kepadaku. Aku terdiam sejenak, masih merasakan nafas-nafas udara yang
bergejolak di sekitarku. Aku masih terduduk manis di teras itu. Sedangkan ia
masih dengan rajin, jemarinya memencet-mencet keypad handphonenya. Aku menatapnya sejenak. Tubuhnya kurus kecil
dan posturnya hanya sebatas laki-laki biasa, tidak tinggi, tidak juga pendek.
Masih nyaman ia duduk bertengger di atas motor Yamaha Mio-nya yang berwarna
biru kehijauan dengan corak pelangi pada sisi sampingnya. Udara luar memang
sedang dingin, sebab ini adalah waktu-waktu pergantian musim, tetapi nampaknya
bukan itu yang membuatnya mengenakan sweater. Sweater hijaunya yang berwarna
ketuaan dan menurutku sudah tampak lusuh itu memang selalu dipakainya setiap
hari, yang entah itu merupakan sweater kesayangannya atau tidak ada sweater
lain? Entahlah. Sepertinya argumen pertama yang lebih dapat diterima. Beralih
ia menatapku. Aku membalas dengan tatapan bingung yang masih setengah tidak
mengerti. Kami sama-sama menatap langit, kami sama-sama membagi cerita dalam
kebisuan. Satu hal yang tidak pernah aku kira sebelumnya adalah, bahwa orang
ini, yang kini berada di hadapanku, merupakan sosok yang memiliki hati dan jiwa
begitu besar, yang memiliki vision begitu besar pada apa yang akan ia hadapi.
Sebelumnya, sebelum aku mengenal dekat dirinya, yang aku tahu ia adalah
seseorang dengan bakat goresan cat air atau pewarna apapun yang luar biasa.
Dimanapun ia menggoreskan tangannya, seolah saat itu juga bumi menginginkan ia
melahirkan karya berupa gambaran-gambaran luar biasa. Aku mengagumi setiap
inchi garis-garis dan desain yang mampu ia wujudkan, karena memang mereka luar
biasa. Bukan hanya dalam bentuk dua dimensi saja tetapi, ah... terlalu banyak
jika aku jabarkan, aku tak mampu. Dan yang sulit aku percayai adalah, bahwa
pada saat ini, dua anak manusia ini –aku dan dia- bisa berbagi cerita, cerita
tentang hati, yang bahkan pada teman-teman terdekatku saja tidak pernah aku
ceritakan, begitu pun ia.
“Tunggu aku lima
sampai enam tahun lagi ya”, terbentuk sebuah sudut senyum simpul pada wajahnya
yang seketika menatapku.
“Haa?”, refleks
atas ke-tulalit-anku muncul kembali.
“Masa’ gak
ngerti sih?”
“Apanya? Maksud
Mas Kris apanya yang lima sampai enam tahun lagi?”, timpalku.
Ia mulai
menatapku dengan setengah jengkel. Namun aku memang setengah tidak mengerti
maksud yang ia ucapkan.
“Ya undanganku
lah dek, apa lagi? Kelamaan mikir nih”
“Undangan??
Nikah maksudnya?”, aku membetulkan posisi dudukku menjadi bersila, menatapnya
serius.
“Iya dong”, tawa
jenakanya muncul lagi. Tawa jenaka seorang anak kecil yang lepas dan bebas.
“Mau nikah lima
sampai enam tahun lagi? Wih, hebat-hebat... Emang udah yakin mas?”, tanyaku.
“Udah lah dek,
insyaALLAH, makanya doain masmu ini”, cengirannya semakin melebar
.
“Sip sip...”,
aku mengacungkan kedua jempolku ke arahnya sambil ikut tersenyum lebar. “Eh,
tapi kalau lima sampai enam tahun lagi kan berarti baru empat sampai lima tahun
habis lulus SMA, emangnya udah siap?”
“Siap nggak siap
namanya juga rencana, hehehe...”
“Tapi mas, aku
belum tahu rumahmu lho”
“Halah, gitu aja
nggak tahu. Kamu tahu kan tempat biasa kita pas-pasan waktu mau berangkat
sekolah? Nah di gang biasanya aku keluar itu masuk aja terus, nanti sampai
ketemu rumah paling bagus warnanya hijau”.
“Widih, sombong.
Rumahnya paling bagus, ckckck...”, sergahku setengah mengejek.
“Loh, kenyataan
itu, boleh dicek kalau gak percaya”, Mas Kris berusaha memenangkan
argumentasinya.
“Ya aja deh,
hahaha...”, aku manggut-manggut sambil mendengarkan penjelasannya. Sesekali
menerawang tempat yang dia maksud. Waktu itu aku pikir aku mungkin memang akan
bertandang kerumahnya, lima sampai enam tahun lagi. Tetapi ternyata tidak
selama itu, Tuhan mendekatkan waktu kami bertemu di rumahnya, tidak sampai tiga
bulan setelah kami bercakap-cakap pada malam ini. Namun keadaannya sangat
berbeda. Dan aku yakin saat itu ia sangat bahagia.
“Kamu nginep
dimana malam ini? Masih pakai seragam pramuka gitu, tadi nggak pulang?”,
tanyanya.
“Nggak mas,
habis bantu bersih-bersih tempat trus ngobrol tuh sama Mas Muris”, aku melongok
ke arah dalam ruang itu, menunjukkan Mas Muris yang masih asyik berkutik di
dalam dengan beberapa anak lainnya. “Kayaknya aku bakal nginep di tempat Wheny, sanggar lagi nggak bisa
dibuat tidur, berantakan gitu, banyak anak-anak pula, tapi ceweknya nggak ada”.
“Oh, ya udah
bagus deh. Jangan pulang malem-malem, jaga diri baik-baik tuh”, seraya
membetulkan posisi duduknya di atas motor, ia mengambil langkah akan pergi.
“Mas Kris mau
kemana? Nggak balik lagi kesini?”
“Mau muter
sebentar, ada beberapa perlengkapan yang belum ada. Kamu masih mau lama
disini?”
“Nggak tahu sih,
tergantung Wheny, kenapa?”
“Mau titip
sesuatu nggak kalau kamu masih lama disini”, ia mulai menstarter motornya.
“Mas Kris lama
nggak? Kalau nggak boleh deh roti bakar kayak biasanya, hehehe...”
“Ya insyaALLAH,
nanti aku sms aja kalau gitu ya. Aku pergi dulu.”
“Eh Mas Kris,
tunggu sebentar...”, aku berdiri, setengah melambai. Ia berhenti, mematikan
kembali mesin motornya.
“Apa?”
“Aku takut deh
mas...”
“Takut apa?”
“Ya yang tadi
aku ceritain, ‘orang’ itu...”
“Kamu itu udah
gede kayak anak masih kecil aja. Dewasalah. Belajar ambil keputusan.”, ia
menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku menggigit jari. “Terserah kamu aja dek,
kamu pasti tahu yang terbaik buat kamu sendiri. Tanya ke dalam hatimu, siapa
yang kamu percaya. Udah ya, aku pergi, keburu malem”.
“Hmmm... ya deh,
hati-hati mas. Jangan lupa roti bakar!”, cengiranku muncul lagi.
Ia melambai,
deru mesin motor meninggalkan jejak debu di tanah berpasir di hadapanku. Aku
memandang langit selama beberapa detik lagi, mengibas-ngibaskan rokku yang
terkena debu lantai. Kembali masuk ke dalam, aku berhambur dengan yang lain. Malam
itu aku tak tahu apakah angin malam ikut menyaksikan perbincangan kami. Malam
itu, yang dibungkus dengan sebuah impian, yang masih aku simpan hingga kini,
lima hingga enam tahun lagi. Dan ternyata waktu itu tidak akan pernah kunjung
datang.
Untuk
mengenang ia yang telah mendapatkan tempat terbaik di sisi-Nya. Untuk mengenang
ia yang pernah menghidupkan “rumah kecil” kita dengan warnanya. Untuk mengenang
ia... yang selalu mendapatkan tempat terbaik di hati kita... Untuk ia, yang
kita cintai :) RIP 6 November 2009, Kris Wardhanu.
Label: Cerpen
Posting Komentar