Aku iri pada angin...
Aku iri padanya yang dapat
membalut kesedihanmu. Ia yang dapat membantumu mendorong air mata dari pelupuk
untuk dituahkan, untuk dilepaskan, meninggalkan beban berat yang engkau rasakan. Sedangkan aku tak
pernah mampu membaca guratan kesedihanmu. Menerka saja aku tak bisa. Apalagi
untuk menghiburmu saat duka itu datang.
Aku iri pada angin...
Ia yang dapat memberikanmu
ketegaran. Ia yang dapat menyelinap masuk untuk merengkuhmu. Ia yang dapat
dengan pintarnya menerobos setiap celah dalam jemarimu untuk memberimu pegangan
saat engkau rapuh. Ia yang dapat setiap saat menyengat kulitmu untuk
menyalurkan energi kehidupan. Sedangkan aku, menyentuhmu pun aku tak mampu.
Membayangkannya saja sungguh teramat sulit.
Aku iri pada angin...
Ia yang selalu mencuri waktu di
dalam matamu, ia yang mencuri waktu di
dalam benakmu. Ia yang selalu mampu meniupkan angkasa ke dalam bola matamu.
Yang selalu dan selalu dengan mudahnya menusuk kornea matamu, dan engkau hanya
memejamkan mata menikmati setiap tusukan tajamnya dalam kedua mata indahmu itu.
Ia yang bebas menyorotimu. Sedangkan aku, menatap lurus matamu selama setengah
detik saja membuatku seolah menjadi sebuah bulu. Yang lagi-lagi tertiup angin
terbang dan menjauh.
Aku iri pada angin...
Ia yang selalu membacamu lewat
sentuhannya. Ia yang mampu mentransfer setiap daya dan karya perasaannmu. Ia
yang mampu menyampaikan sekaligus penyembuh dalam setiap pancaran nalurimu. Ia
hadir dengan sosok yang tidak ada tetapi ada untuk melekat padamu. Menyapamu,
memberikan senyuman, yang kemudian lalu lalang bebasnya mengitarimu. Ia yang
selalu engkau harapkan untuk mengisi
kekosongan ruanganmu. Sedangkan aku, dari jauh hanya mampu melahirkanmu dari
imajinasi-imajinasiku. Karena jujur, terkadang aku pun melupakan sinar wajahmu,
sebab memang kita terlalu sulit dapat bertatap.
Aku iri pada angin...
Pada setiap hemmbusannya yang
membuatku selalu berharap bahwa nafasku akan tersampaikan pada nafasmu. Meski
aku selalu iri padanya yang bebas mendatangi lantas meninggalkanmu. Aku yang
iri padanya karena tak memiliki posisi yang pantas untuk itu. Namun jauh
tersembunyi aku juga mengaguminya. Betapa ia sangat seenaknya dapat melibas
helaian demi helaian rambutmu itu, dan mensayukan sorot mata dalam tatapanmu,
serta membuatku seakan dapat menangkap semerbak harummu. Dan ketika hal
tersebut berelaborasi, membuatku seakan keruntuhan bintang-bintang di langit.
Yang kita sapa malam itu.
Aku iri pada angin...
Ia yang meluruhkan sekaligus
menegarkan.
(Jakarta, 19 Juli 2012) Thursday,
12:04 PM
Label: My Side
Posting Komentar