As A Raindrops


I'm gonna release out my soul,
I'm gonna flying to the pass sky,
When the birds starting jump in the box,
And the bats never let away the snow falling down,
As a green and blue dancing on the midnight,
As my tears sweeping sweat,
And my heartless spreading everything,
As a snow ball breaking out trees,
Touchy, softly...
Bridging a half-empty,
Burning down coldly,
Running fast crunchy...

Sanggar-Rumah Kerinduanku, Part 5



“Keputusan kan ada di dirimu sendiri, bukannya aku mau menjelek-jelekkan, tetapi hati-hati lah”. Tatapan matanya yang setengah meruncing rasanya berkata-kata seperti itu kepadaku. Aku terdiam sejenak, masih merasakan nafas-nafas udara yang bergejolak di sekitarku. Aku masih terduduk manis di teras itu. Sedangkan ia masih dengan rajin, jemarinya memencet-mencet keypad handphonenya. Aku menatapnya sejenak. Tubuhnya kurus kecil dan posturnya hanya sebatas laki-laki biasa, tidak tinggi, tidak juga pendek. Masih nyaman ia duduk bertengger di atas motor Yamaha Mio-nya yang berwarna biru kehijauan dengan corak pelangi pada sisi sampingnya. Udara luar memang sedang dingin, sebab ini adalah waktu-waktu pergantian musim, tetapi nampaknya bukan itu yang membuatnya mengenakan sweater. Sweater hijaunya yang berwarna ketuaan dan menurutku sudah tampak lusuh itu memang selalu dipakainya setiap hari, yang entah itu merupakan sweater kesayangannya atau tidak ada sweater lain? Entahlah. Sepertinya argumen pertama yang lebih dapat diterima. Beralih ia menatapku. Aku membalas dengan tatapan bingung yang masih setengah tidak mengerti. Kami sama-sama menatap langit, kami sama-sama membagi cerita dalam kebisuan. Satu hal yang tidak pernah aku kira sebelumnya adalah, bahwa orang ini, yang kini berada di hadapanku, merupakan sosok yang memiliki hati dan jiwa begitu besar, yang memiliki vision begitu besar pada apa yang akan ia hadapi. Sebelumnya, sebelum aku mengenal dekat dirinya, yang aku tahu ia adalah seseorang dengan bakat goresan cat air atau pewarna apapun yang luar biasa. Dimanapun ia menggoreskan tangannya, seolah saat itu juga bumi menginginkan ia melahirkan karya berupa gambaran-gambaran luar biasa. Aku mengagumi setiap inchi garis-garis dan desain yang mampu ia wujudkan, karena memang mereka luar biasa. Bukan hanya dalam bentuk dua dimensi saja tetapi, ah... terlalu banyak jika aku jabarkan, aku tak mampu. Dan yang sulit aku percayai adalah, bahwa pada saat ini, dua anak manusia ini –aku dan dia- bisa berbagi cerita, cerita tentang hati, yang bahkan pada teman-teman terdekatku saja tidak pernah aku ceritakan, begitu pun ia.

Dear #2


Dear Antares,
Poros waktu semakin berotasi, menunjukkan revolusi yang menemukan sejatinya bagaimana keadaan itu bergulir. Menyatukan kepingan remah-remah yang sempat ditelantarkan. Gugusan meteoroitmu jatuh tepat pada saat malam bergeming. Pada pusat tegak lurus sembilan puluh derajat, engkau bersaksi. Dalam sudutnya yang tumpul, kembali engkau mengurai sebuah jarak, menghubungkan dan mengaitkan. Dalam polanya yang pasti, engkau mengukur dan menyelami langitmu sendiri, menguatkan dan memastikan.

Angin


Aku iri pada angin...
Aku iri padanya yang dapat membalut kesedihanmu. Ia yang dapat membantumu mendorong air mata dari pelupuk untuk dituahkan, untuk dilepaskan, meninggalkan beban  berat yang engkau rasakan. Sedangkan aku tak pernah mampu membaca guratan kesedihanmu. Menerka saja aku tak bisa. Apalagi untuk menghiburmu saat duka itu datang.

Kala Dua Angin Berbisik


Ku mencari Sang Georgium Sidus,
Dalam untaian gugus-gugus dan rumpun cahaya,
Tuk beri jalan menuju Andromeda,
Melampaui batas waktu kehidupan,
Laksana tiba di Athena,
Mereka menari bagai bulan dan matahari, sedang...
Aku adalah Anaxagoras,
Tak ingin aku pergi ke Lampsacus,
Hanya dalam kosmologi Mesir,
Aku ingin menjadi Dewa Tefnut,
Hingga lengkungan cakrawala kan,
Temukan dua angin,
Berputar di bawah gelap malam,
Bahkan bintang yang lain pun terdiam,
Back to the lonely,
Back to my destiny

Dear #1


Dear Antares,
Engkau yang selalu bersinar terang disana...
Seolah aku melalui cerobong dan meresapi celah-celah waktu yang baru. Membuka kembali jendela yang sebelumnya hanya terbuka setengah. Membiarkan asap dari embun pagi kembali meresap memenuhi rongga-rongga udara. Menemukanmu... tidak, tepatnya saat segalanya tidak aku rencanakan dan saat segalanya aku lepaskan ternyata cinta dapat membebaskan. Betapa tiap butiran air yang menetes dari langit itu memberikan sebuah pencerahan baru. Memberikan warna pelangi di setiap sudut wajahnya ketika memantulkan matahari. Tentu saja, aku mataharinya, dan engkau tetap menjadi Antares disana. Meskipun jauh dan berbeda tetapi kita berada dalam sebuah gugusan yang teramat jauh dari kesederhanaan untuk ditemukan. Nampaknya harus aku temukan alur dalam mempelajari teori “Black Hole” untuk menemukan sendiri tentangmu dan tentangku.

Logika & Perasaan, Paradigma Pilihan!


Apakah memang selayaknya perasaan itu kita yang mengendalikan? Bukan perasaan yang mengendalikan kita? Jika memang benar begitu adanya, bukankah justru berarti membiarkan diri kita sendiri dikuasai oleh ego dan logika-logika yang absurd dalam menghadapi kehidupan? Bukankan perasaan justru menjadi substansi yang mengandung esensi dari kebenaran? Ah, mungkin aku terlalu berkutat dengan landasan filosofis yang telah dituliskan dan diperdebatkan selama berabad-abad oleh sejarah. Yang justru membuatku muak sendiri adanya. Kenapa manusia berpikir sesuatu yang terkadang tidak perlu dipikirkannya? Kenapa sulit untuk menjalani hidup apa adanya yang seperti orang-orang katakan? Aku yakin seyakin-yakinnya bahwa tidak ada seorang pun di dunia ini yang benar-benar menjalani hidup apa adanya. Slogan tersebut hanya berfungsi sebagai paradoks untuk hiburan semata. Untuk menghidupkan kembali semangat-semangat yang sempat tertidur atau bahkan mati suri. Akankah benar demikian adanya?