Sanggar-Rumah Kerinduanku, Part 5



“Keputusan kan ada di dirimu sendiri, bukannya aku mau menjelek-jelekkan, tetapi hati-hati lah”. Tatapan matanya yang setengah meruncing rasanya berkata-kata seperti itu kepadaku. Aku terdiam sejenak, masih merasakan nafas-nafas udara yang bergejolak di sekitarku. Aku masih terduduk manis di teras itu. Sedangkan ia masih dengan rajin, jemarinya memencet-mencet keypad handphonenya. Aku menatapnya sejenak. Tubuhnya kurus kecil dan posturnya hanya sebatas laki-laki biasa, tidak tinggi, tidak juga pendek. Masih nyaman ia duduk bertengger di atas motor Yamaha Mio-nya yang berwarna biru kehijauan dengan corak pelangi pada sisi sampingnya. Udara luar memang sedang dingin, sebab ini adalah waktu-waktu pergantian musim, tetapi nampaknya bukan itu yang membuatnya mengenakan sweater. Sweater hijaunya yang berwarna ketuaan dan menurutku sudah tampak lusuh itu memang selalu dipakainya setiap hari, yang entah itu merupakan sweater kesayangannya atau tidak ada sweater lain? Entahlah. Sepertinya argumen pertama yang lebih dapat diterima. Beralih ia menatapku. Aku membalas dengan tatapan bingung yang masih setengah tidak mengerti. Kami sama-sama menatap langit, kami sama-sama membagi cerita dalam kebisuan. Satu hal yang tidak pernah aku kira sebelumnya adalah, bahwa orang ini, yang kini berada di hadapanku, merupakan sosok yang memiliki hati dan jiwa begitu besar, yang memiliki vision begitu besar pada apa yang akan ia hadapi. Sebelumnya, sebelum aku mengenal dekat dirinya, yang aku tahu ia adalah seseorang dengan bakat goresan cat air atau pewarna apapun yang luar biasa. Dimanapun ia menggoreskan tangannya, seolah saat itu juga bumi menginginkan ia melahirkan karya berupa gambaran-gambaran luar biasa. Aku mengagumi setiap inchi garis-garis dan desain yang mampu ia wujudkan, karena memang mereka luar biasa. Bukan hanya dalam bentuk dua dimensi saja tetapi, ah... terlalu banyak jika aku jabarkan, aku tak mampu. Dan yang sulit aku percayai adalah, bahwa pada saat ini, dua anak manusia ini –aku dan dia- bisa berbagi cerita, cerita tentang hati, yang bahkan pada teman-teman terdekatku saja tidak pernah aku ceritakan, begitu pun ia.

Dear #2


Dear Antares,
Poros waktu semakin berotasi, menunjukkan revolusi yang menemukan sejatinya bagaimana keadaan itu bergulir. Menyatukan kepingan remah-remah yang sempat ditelantarkan. Gugusan meteoroitmu jatuh tepat pada saat malam bergeming. Pada pusat tegak lurus sembilan puluh derajat, engkau bersaksi. Dalam sudutnya yang tumpul, kembali engkau mengurai sebuah jarak, menghubungkan dan mengaitkan. Dalam polanya yang pasti, engkau mengukur dan menyelami langitmu sendiri, menguatkan dan memastikan.