Angin


Aku iri pada angin...
Aku iri padanya yang dapat membalut kesedihanmu. Ia yang dapat membantumu mendorong air mata dari pelupuk untuk dituahkan, untuk dilepaskan, meninggalkan beban  berat yang engkau rasakan. Sedangkan aku tak pernah mampu membaca guratan kesedihanmu. Menerka saja aku tak bisa. Apalagi untuk menghiburmu saat duka itu datang.

Kala Dua Angin Berbisik


Ku mencari Sang Georgium Sidus,
Dalam untaian gugus-gugus dan rumpun cahaya,
Tuk beri jalan menuju Andromeda,
Melampaui batas waktu kehidupan,
Laksana tiba di Athena,
Mereka menari bagai bulan dan matahari, sedang...
Aku adalah Anaxagoras,
Tak ingin aku pergi ke Lampsacus,
Hanya dalam kosmologi Mesir,
Aku ingin menjadi Dewa Tefnut,
Hingga lengkungan cakrawala kan,
Temukan dua angin,
Berputar di bawah gelap malam,
Bahkan bintang yang lain pun terdiam,
Back to the lonely,
Back to my destiny

Dear #1


Dear Antares,
Engkau yang selalu bersinar terang disana...
Seolah aku melalui cerobong dan meresapi celah-celah waktu yang baru. Membuka kembali jendela yang sebelumnya hanya terbuka setengah. Membiarkan asap dari embun pagi kembali meresap memenuhi rongga-rongga udara. Menemukanmu... tidak, tepatnya saat segalanya tidak aku rencanakan dan saat segalanya aku lepaskan ternyata cinta dapat membebaskan. Betapa tiap butiran air yang menetes dari langit itu memberikan sebuah pencerahan baru. Memberikan warna pelangi di setiap sudut wajahnya ketika memantulkan matahari. Tentu saja, aku mataharinya, dan engkau tetap menjadi Antares disana. Meskipun jauh dan berbeda tetapi kita berada dalam sebuah gugusan yang teramat jauh dari kesederhanaan untuk ditemukan. Nampaknya harus aku temukan alur dalam mempelajari teori “Black Hole” untuk menemukan sendiri tentangmu dan tentangku.